Friday 7 June 2013

ANALISIS KUALITAS DAN KENYAMANAN LINGKUNGAN KAWASAN HUTAN KOTA, DI KOTA MALANG

ANALISIS KUALITAS DAN KENYAMANAN LINGKUNGAN KAWASAN HUTAN KOTA, DI KOTA MALANG
Analysis of Environmental Quality and Comformity in the Urban Forest of Malang City

Rizald Hussein
Mahasiswa Program Magister PSLP PPSUB

Bagyo Yanuwiyadi
Dosen Jurusan Biologi FMIPA UB

Soemarno
Dosen Jurusan Tanah FPUB


ABSTRAK

Pembangunan fisik yang dilakukan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi suatu perkotaan menyebabkan berkurangnya areal terbuka hijau. Kenyataan ini menyebabkan kestabilan ekosistim suatu daerah / kota terganggu bahkan menurun. Kestabilan ekosistim yang terganggu ini menyebabkan lingkungan tidak sehat yang ditunjukan dengan meningkatnya suhu udara, banjir/genangan, kebisingan, intruisi air laut, penurunan permukaan air tanah, abrasi pantai, pencemaran air minum, pencemaran udara (meningkatnya kadar CO, CO2, NOx, SOx, Partikulat/debu, dll), suasana lingkungan yang gersang, monoton, dan tidak menghadirkan nilai estetika bagi lingkungan. Permasalahan lingkungan yang tidak terselesaikan ini akan menghancurkan potensi pemenuhan generasi mendatang. Termasuk adanya kemerosotan kualitas lingkungan bisa berdampak buruk bagi kenyamanan lingkungan, khususnya bagi kehidupan manusia.
Untuk mengurangi berbagai dampak negatif kota akibat pembangunan yang tidak ramah lingkungan tersebut di atas, maka alternative penyediaan RTH di areal perkotaan mutlak harus ada. Salah satu bentuk RTH di perkotaan yang juga mengandung nilai estetika tinggi dan dapat dijadikan ajang sarana rekreasi ialah hutan kota. Hutan kota merupakan pendekatan dan penerapan salah satu atau beberapa fungsi hutan dalam kelompok vegetasi di perkotaan untuk mencapai tujuan proteksi, rekreasi, estetika, dan kegunaan fungsi lainnya bagi kepentingan masyarakat perkotaan. Untuk itu, hutan kota tidak hanya berarti hutan yang berada di kota, tetapi dapat pula berarti bahwa hutan kota dapat tersusun dari komponen hutan, dan kelompok vegetasi lainnya yang berada di kota, seperti taman kota, jalur hijau, serta kebun dan pekarangan.
Tingkat kenyamanan di Kota Malang saat ini berada pada kisaran tidak nyaman (nilai IK = > 71). Pengelolaan Hutan Kota yang masih mengedepankan fungsi estetika dibandingkan fungsi hidrologis memiliki andil dalam penentuan rasa nyaman di sekitar hutan kota tersebut. Untuk itu keterpaduan setiap stakeholder dalam merencanakan dan mengelola hutan kota di Malang sangat diperlukan guna terjaga fungsi hutan kota dalam memberikan rasa nyaman bagi maasyarakat Kota Malang.

Kata kunci :  hutan kota, indeks kenyamanan, lingkungan, kota malang

ABSTRACT

Physical development is being done to support economic growth causing a decrease in urban green open area. This fact led to the stability of the ecosystem of an area / town disrupted even decreased. The stability of this ecosystem is disrupted causing an unhealthy environment which is shown by the increase in air temperature, flood, noise, intruisi sea water, ground water level decline, coastal erosion, water pollution, air pollution (rising levels of CO, CO2, NOx, SOx , Particulate / dust, etc.), the arid atmosphere, monotonous, and does not represent value for environmental aesthetics. Environmental problems are not resolved it will destroy the potential for future generations because of the deterioration of environmental quality which impact on environmental comfort, especially for human life.
In reducing any negative impacts caused by any physical construction activities in  the city that are not environmental friendly, then any alternative provision of green open-space in urban areas there is an absolute must. One form of green open-space in urban areas that also contain a high aesthetical value and can be used as recreational facilities arena is the urban forest. Urban forestry is an approach and an application of one or several functions in a group of forest vegetation in urban areas in achieving objectives of protection, recreation, aesthetics, and usefulness of other functions for the benefit of urban communities. Urban forest does not just mean that forests are in town, but it can also mean that urban forest may be composed of components of forest and other vegetation groups residing in the city, such as parks, greenways, urban gardens and homeyards.
Comformity level in Malang City is currently in the range of uncomfortable               (HI value => 71). Urban forest is still promoting in any aesthetical functions than hydrological function, has a share in determining the sense of comfort in the forest around the city. For the integrity of every stakeholder in planning and managing urban forest in Malang is very necessary in order to awake the functions of forests in providing a sense of comfort for the people of Malang City.

Keyword : urban forest, comfort level, environmental, malang city





PENDAHULUAN

Kehidupan organisme di bumi sangat tergantung pada keberadaan tumbuhan hijau. Keberadaan satwa membutuhkan adanya aliran energi yang disuplai dari tumbuhan dalam menjalankan proses hidup dan kehidupan. Demikian juga manusia yang dalam kehidupan sehari-harinya membutuhkan tumbuhan sebagai sumber energi. Keberadaan tumbuhan meng-undang kehadiran burung sehingga kebutuhan emosional manusia dapat terpenuhi dari kicauan dan potensial lain yang ada pada mereka. Tidak dapat dipungkiri saat ini bahwa tumbuhan dalam kehidupan kita memang sangat dibutuhkan oleh manusia.
Keberadaan ruang terbuka hijau (RTH) sebagai wilayah tumbuhnya tetumbuhan yang dapat menyokong lingkungan perkotaan saat ini mutlak dibutuhkan, terutama karena nilai positif yang diberikan terhadap kehidupan warga dan kualitas lingkungan perkotaan. Akan tetapi kenyataan yang sungguh ironis terlihat saat ini bahwa habitat tumbuhnya tumbuhan mulai berganti dengan habitat bangunan-bangunan beton sebagai pusat ekonomi, industri dan property. Perubahan ini sangat jelas terlihat di daerah perkotaan.
Penurunan habitat tumbuhan ini menunjukan bahwa masalah pokok yag dihadapi di daerah perkotaan saat ini bukan lagi semata-mata krisis perencanaan melainkan krisis yang direncanakan. Sekedar contoh bahwa telah terjadi penurunan kualitas iklim mikro sehingga membuat masyarakat tidak merasa nyaman karena panas, namun ruang terbuka hijau yang diperuntukan untuk penanaman vegetasi tetap berkurang. Alih fungsi lahan bervegetasi kini telah banyak berubah menjadi bangunan beton, jalan raya, kompleks industri, perumahaan, dan areal private lainnya yang menyebabkan berkurangnya vegetasi di area tersebut.
Pembangunan fisik yang dilakukan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi suatu perkotaan menyebabkan ber-kurangnya areal terbuka hijau. Kenyataan ini menyebabkan kestabilan ekosistim suatu daerah / kota terganggu bahkan menurun. Kestabilan ekosistim yang terganggu ini menyebabkan lingkungan tidak sehat yang ditunjukan dengan meningkatnya suhu udara, banjir / genangan, kebisingan, intruisi air laut, penurunan permukaan air tanah, abrasi pantai, pencemaran air minum, pen-cemaran udara (meningkatnya kadar CO, CO2, NOx, SOx, Partikulat/debu, dll), suasana lingkungan yang gersang, mo-noton, dan tidak menghadirkan nilai estetika bagi lingkungan.
Untuk mengurangi berbagai dampak negative kota akibat pembangunan yang tidak ramah lingkunga tersebut di atas, maka alternative penyediaan RTH di areal perkotaan mutlak harus ada. Salah satu bentuk RTH di perkotaan yang juga mengandung nilai estetik tinggi dan dapat dijadikan ajang sarana rekreasi ialah hutan kota.
Pembangunan hutan kota meyangkut masalah ketersediaan lahan yang erat kaitannya dengan masalah tata ruang kota. Agar perencanaan sampai tahapa pem-bangunan hutan kota dapat terlaksana secara optimal maka perlu dilakukan suatu penelitian.
Kebijakan untuk pembangunan RTH kota ada dua pendekatan yaitu ; Pendekatan Pertama, RTH kota dibangun pada lokasi-lokasi tertentu saja. Penentuan luasnya berdasarkan : (1) persentase, yaitu luasan RTH ditentukan dengan memperhitungkan luasan kota; 2) perhitungan perkapita, yaitu luasan RTH kota ditentukan berdasarkan jumlah penduduknya; 3) luasan RTH ditentukan berdasarkan isu utama yang muncul.
Pendekatan kedua, semua areal yang ada di suatu kota pada dasarnya adalah areal untuk RTH kota. Pada pendekatan ini semua komponen yang ada di kota seperti pemukiman, perkantoran dan industri dipandang sebagai suatu bagian dari RTH kota. Jerman,hongkong, Korea, Jepang, Singapura mengikuti pendekatan kedua. Mereka juga membuat kebijakan untuk membuat “hutan beton” yait membangun RTH kota di atas gedung.
Pendekatan yang digunakan di Indonesia ialah pendekatan pertama dengan menggunakan persentase luasan tertentu. Berdasarkan keputusan Depdagri (1988) luasan RTH kota sebesar 30% dari luas kota seluruhnya. Dirjen reboisasi Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPS) menegaskan 10% luas wilayah harus menjadi kawasan hutan kota. Akan tetapi kenyataan di lapangan menunjukan bahwa luasan RTH maupun hutan kota yang telah ditentukan baik luasan maupun areal telah berkurang akibat pembangunan fisik. Wilayah yang sedianya dijadikan RTH berubah fungsi menjadi bangunan mall, real estate, pabrik, maupun sarana-saran fisik lainnya untuk menunjang pertumbuhan ekonomi.
Wilayah Kota Malang tahun 2007 tercatat memiliki hutan kota sebesar 0.65% dari keseluruhan total luas Kota Malang yang mencapai 110,06 km2. Luas areal ruang terbuka hijau Kota Malang juga tercatat tahun 2007 tersisa 2,89% dari keseluruhan luas Kota Malang. Ruang terbuka itu terinci 12 Ha, sempadan sungai 80 ha, tanah pekarangan dan kebun 150 ha, dan sawah 2.940 Ha. Sebaliknya luas lahan yang terbangun pada tahun 2007 meningkat menjadi 60% dari luas wilayah kota. Kenyataan ini telah menyalahi aturan pemerintah PP No. 63 tahun 2002 yang menggariskan bahwa luas ruang terbuka hijau daerah perkotaan minimal 10% dari luas wilayah kota. Pembangunan yang terjadi menyebabkan berkurangnya luas areal bervegatasi yang secara langsung menyebabkan berkurangnya vegetasi. Vegetasi dalam ekosistim berperan sebagai produsen pertama yang mengubah energi surya menjadi energi potensial untuk mahluk lainnya, perubah terbesar lingkungan dan sebagai sumber hara mineral.
Setiap terjadi pembangunan di daerah perkotaan, lahan bervegetasi selalu berkurang. (Budiharjo dan Hardjohubojo, 1993; Zoer’aini, 2005; tempo interaktif.comb).
Penghijauan perkotaan merupakan salah satu usaha pengisian ruang terbuka hijau (RTH). Kegiatan penghijauan di daerah perkotaan perlu dilakukan untuk mengurangi tingkat pencemaran udara dan menurunkan suhu agar terasa sejuk. Menurut Grey dan Deneke (1976) dalam Zoer’aini, (2005) pepohonan dan vegetasi lainnya dapat memperbaiki suhu kota melalui evapotranspirasi. Sebuah pohon yang terisolir akan menguapkan air sekitar 400 liter/hari jika air tanah cukup tersedia (Kramer dan Kozlowski, 1970 dan Federer, 1970 dalam Zoer’aini, 2005). Penelitian Sani (1986) menunjukan adanya perbedaan suhu di dalam dan di luar taman kota sebesar 4,50C. Keadaan sejuknya suhu karena peran tanaman ini perlu di kembangkan di daerah yang suhunya semakin hari semakin panas dengan cara menanam lebih banyak tanaman hingga membentuk hutan kota.
Hutan kota adalah komunitas vegetasi berupa pohon dan asosiasinya yang tumbuh di lahan kota atau sekitar kota, berbentuk jalur, menyebar, atau bergerombol, dengan struktur menyerupai/meniru hutan alam, membentuk habitat yang memungkinkan kehidupan bagi satwa dan menimbulkan lingkungan sehat, nyaman dan estetis.  Pengertian ini sejalan dengan PP No 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota yang menggariskan hutan kota sebagai pusat ekosistim yang dibentuk menyerupai habitat asli dan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dan menyatu dengan lingkungan sekitarnya. Penempatan areal hutan kota dapat dilakukan di tanah negara atau tanah private yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat berwenang. Sebagai unsur RTH, hutan kota merupakan suatu ekosistim dengan sistim terbuka. Hutan kota diharapkan dapat menyerap hasil negatif akibat aktifitas di perkotaan yang tinggi. Tingginya aktifitas kota disebabkan oleh pertumbuhan penduduk dan industri yang sangat pesat di wilayah perkotaan. Dampak negatif dari aktifitas kota antara lain meningkatnya suhu udara, kebisingan, debu, polutan, kelembaban menurun, dan hilangnya habitat berbagai jenis burung dan satwa lainnya karena hilangnya vegetasi dan RTH (Zoer’aini, 2004; Sumarni, 2006).
Kota Malang yang saat ini mulai mengalami penurunan kualitas lingkungan akibat pembangunan perlu melakukan upaya guna meningkatkan presentasi luas areal terbuka hijau sebagaimana disyaratkan dalam PP No. 63 Tahun 2002. Upaya ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas lingkungan yang berdampak pada peningkatan kualitas masyarakatnya.  Kajian yang mengarah pada penilaian kualitas lingkungan Kota Malang saat ini perlu dilakukan untuk mendukung kegiatan di atas. Oleh karena itu penelitian mengenai kualitas lingkungan udara dan kenyamanan yang ada saat ini di wilayah hutan kota di Kota Malang dirasa perlu dilakukan sebagai langkah awal untuk memprediksi kebutuhan hutan kota dan bentuk hutan kota yang tepat di Kota Malang.
Berdasarkan latar belakang di atas, dirumuskan permasalahan penelitian (1) Bagaimana hubungan bentuk-bentuk hutan kota terhadap kualitas udara di sekitar wilayah hutan kota; (2) bagaiman hubungan bentuk-bentuk hutan kota terhadap tingkat kenyamanan di wilayah hutan kota.
Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah untuk (1) Mengetahui hubungan bentuk hutan kota terhadap kualitas lingkungan di sekitar hutan kota; (2) mengetahui pengaruh bentuk hutan kota terhadap tingkat kenyamanan masyarakat di sekitar wilayah hutan kota.


METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan ialah metode survey dan observasi. Metode survey di lakukan untuk mengukur suhu udara, kecepatan angin, kelembaban, intensitas cahaya matahari, dan kerapatan pohon yang dianalisis secara statistic dan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Metode observasi dilakukan untuk melihat aktifitas masyarakat yang memanfaatkan hutan kota dalam berbagai kepentingan serta persepsi mereka terhadap ekosistim hutan kota.
Penelitian dilaksankan selama kurang lebih dari satu bulan. Penelitian dilaksanakan pada Bulan Maret hingga April 2009. Waktu pengambilan sampel dilakukan selama 24 jam dengan studi kasus hutan kota Malang. 
Penelitian dilaksanakan di tiga wilayah hutan kota Malang, yaitu hutan kota Malabar, hutan kota Jalan Jakarta, dan hutan kota Velodrome. Setiap hutan kota mewakili berbagai bentuk hutan kota yang ada yaitu bergerombol (HG), menyebar (HS), dan bentuk jalur (HJ). Bentuk hutan kota bergerombol adalah hutan kota dengan komunitas vegetasinya tumbuh terkosentrasi pada sutu areal, dengan jarak tanam rapat. Bentuk hutan kota menyebar yaitu hutan kota yang komunitas vegetasinya tumbuh menyebar terpencar dalam kelompok-kelompok kecil. Hutan kota jalur ialah hutan kota dengan vegetasi yang ditanaman membentuk jalur. 

Variabel Penelitian

Variabel Lingkungan fisik kimia berupa : Iklim mikro yaitu suhu, kelembaban, dan kecepatan angin
Lingkungan biologi : jumlah dan kerapatan vegetasi di hutan kota, jumlah jenis vegetasi
Lingkungan sosial : Aspek sosial meliputi persepsi masyarakat dan instansi pemerintah terhadap keberadaan dan pengelolaan hutan kota berdasarkan kebijakan Pemerintah mengenai pengelolaan hutan kota

Teknik Pengumpulan Data
Untuk mengetahui peranan hutan kota terhadap kualitas udara dan kenyamanan diperoleh melalui data primer. Sedangkan data sekunder digunakan untuk mengetahui dan mendiskripsikan keadaan hutan kota dan keadaan lingkungan Kota Malang, bentuk dan struktur serta fungsi dominan dari hutan kota.

Data Primer
Untuk melihat peranan bentuk hutan kota terhadap kualitas udara dan tingkat kenyamanan, dilakukan melalui data primer (asli), yaitu dengan melakukan pengukuran di lapangan. Pengukuran dilakukan di tiap hutan kota pada tiga titik lokasi pengukuran yaitu di tepi hutan di pinggir jalan (T1), di tengah-tengah hutan kota (T2), dan di luar jauh hutan kota (T3).
Pengukuran suhu, kelembapan, dan kecepatan angin dilakukan setiap jam selama 24 jam yaitu mulai pukul 01.00 – 24.00. Pengukuran intensitas cahaya dilakukan setiap jam selama 11 jam yaitu dari pukul 06.00 – 17.00.
a.     Pengukuran suhu udara dan kelembaban.  Pengukuran suhu udara dan kelembaban mengunakan thermometer dan hygrometer. Pengukuran dilakukan setiap jam selama 24 jam. Posisi pengukuran dilakukan pada tiga titik pengambilan sampel.
b.     Pengukuran intensitas cahaya. Pengukuran intensitas cahaya dilakukan dengan menggunakan handhels digital ambient light meter. Teknik perhitungan dilakukan dengan cara spot metering sehingga di dapatkan detail tertentu secara maksimal.
c. Pengukuran jumlah, jenis dan kerapatan vegetasi. Cara menghitung kerapatan vegetasi adalah dengan menghitung jumlah pohon per satuan luas tanam. Jumlah vegetasi di peroleh dengan menghitung semua vegetasi yang tumbuh di dalam areal hutan kota. Jumlah jenis vegetasi dihitung berdasarkan jenis-jenis vegetasi yang menyusun hutan kota tersebut.

d.       Pengukuran kenyamanan
Lingkungan nyaman yang dapat dirasakan manusia untuk memenuhi kebutuhan fisik ditentukan oleh suhu dan kelembapan kota sekitarnya. Untuk menyatakan rasa nyaman secara kuantitatif, The US Weather National Service telah menetapkan rumusan indeks ketidaknyamanan sebagai berikut :


IK = Indeks Ketidaknyamanan (Discomfort index); T =  suhu dalam derajat Faranheit; RH = kelembapan relatif.
Indeks kenyamanan berkisar <70. Antara 70 – 80 cukup nyaman dan > 80 orang sudah merasa tidak nyaman.

Data Sekunder
Data sekunder yang tekait dengan penelitian meliputi kondisi fisik wilayah, prasarana dan sarana fisik wilayah, keadaan hutan kota malang, program pemerintah terhadap lingkungan kota, dll. Data sekunder diperoleh melalui kepustakaan, wawancara dengan pejabat terkait, dokumen-dokumen dari dinas terkait seperti dinas Pertamanan Kota Malang, Dinas Tata Kota Kota Malang, Bapeda Kota Malang, BMG, Samsat Kota Malang, dan instansi terkait yang relevan dengan penelitian.

Waktu Pengukuran
Waktu pengukuran data variable selama 24 jam (01.00-24.00) dengan pengukuran dilakukan setiap jam, selama 3 hari. Jumlah hari pengukuran di anggap sebagai ulangan.

Analisis data
Data yang diperoleh dari hasil penelitian akan akan dianalisis dengan statistic untuk melihat perbedaan antara setiap posisi pengukuran. Analisis juga dilakukan untuk melihat hubungan antara setiap variable pengamatan (suhu, kelembapan, intensitas matahari). Hasil analisis akan disajikan dalam bentuk disajikan dalam bentuk tabel, grafik dan gambar. Analisis data dilakukan secara statistika.


Hubungan kualitas lingkungan dengan bentuk hutan kota

1.       Tabulasi dan grafik
Hubugan bentuk hutan kota, letak titik pengukuran, dan waktu pengukuran dengan suhu, kelembapan, intensitas matahari dilihat dengan menggunakan statistik deskriptif yaitu dengan grafik, tabulasi, rataan, dan persentase. Hasil pengukuran suhu, kelembapan dan intensitas matahari pada setiap bentuk hutan kota, letak titik pengukuran, dan waktu ditabulasi dan dibuat grafik garis atau histogram. Dari tabulasi diketahui rataan pengukuran setiap jam; setiap titik pengukuran; setiap bentuk; selisih suhu, kelembapan, intensitas matahari, dan kecepatan angin dari letak titik pengukuran di tepi hutan, di dalam, dan diluar hutan kota. Dari tabulasi akan diperoleh angka rata-rata secara umum dari semua hutan kota maupun pada setiap hutan kota. Sebagian data disajikan dalam bentuk tabel dan sebagian dalam bentuk grafik sehingga secara visual dapat segera diketahui. Untuk melihat apakah bentuk hutan kota memberikan pengaruh berbeda di setiap posisi pengukuran, untuk setiap variable, (suhu, kelembapan, intensitas matahari), maka dilakukan uji T dengan ANOVA (analisis of variance).

Analisis korelasi
Analisis korelasi dilakukan untuk melihat hubungan antar variabel iklim yang diamati pada tiap posisi pengukuran di setiap hutan kota. Analisis ini akan menunjukan seberapa besar pengaruh hutan kota terhadap perubahan iklim mikro pada setiap posisi pengukuran iklim di sekitar hutan kota.

Peranan bentuk hutan kota terhadap kualitas lingkungan.

Pemahaman dan interpretasi dari koefisien model persamaan hasil analisis uji t dan korelasi, baik secara parsial maupun multidimensi akan diketahui sejauh mana bentuk dan struktur hutan kota dapat meningkatkan kualitas lingkungan. Interpretasi tersebut juga dapat digunakan untuk melihat peranan bentuk hutan kota terhadap kenyamanan yang dilihat dari faktor suhu dan kelembapan.

Analisis Kenyamanan
Untuk menyatakan rasa nyaman secara kuantitatif, sani menggunakan rumus sebagai berikut :

IK = 0.7(TWB) + 0.2 (TG) + 0.1(TDB)

dimana : TWB = suhu jika basah; TG = suhu termometer globe; TDB = suhu jika kering.
Indeks kenyamanan berkisar antara 61 – 71. Jika nilai IK melebihi batas tadi, maka orang sudah mulai merasa tidak nyaman.



HASIL DAN PEMBAHASAN

Hubungan Kualitas Lingkungan dengan Bentuk Hutan Kota

Suhu Udara 
Pengukuran suhu selama 24 (dua puluh empat) jam di tiga lokasi hutan kota menunjukan penyebaran pola yang relatif sama baik pengukuran yang dilakukan pada titik tengah, pinggir, maupun jauh hutan kota. Berdasarkan asumsi awal bahwa akan terjadi perbedaan suhu pada bagian tengah hutan kota, pinggir hutan kota maupun jauh hutan kota terbukti menunjukan perbedaan tersebut pada saat pengukuran di lapangan.







Tabel 1. Pengukuran suhu rata-rata di  tiga bentuk hutan kota pada tiga titik pengukuran.

No
Bentuk Hutan Kota
Suhu dan beda pada posisi pengukuran
Pinggir (T1)
Tengah (T2)
Jauh
(T3)
Rata-rata
T2-T1
(%)
T2-T3 (%)
1
Jalan Jakarta
25,0
24,3
25,5
24,9
-3.24
-5.24
2
Malabar
24,7
24,4
25,3
24,8
-1.21
-3.64
3
Velodrome
24,6
23,7
25,0
24,4
-3.64
-5.26

Rata – rata
24,8
24,1
25,3
24,7
-2.83
-4.84




Ada perbedaan suhu yang cukup besar di antara setiap posisi pengukuran di masing-masing lokasi pengukuran. Suhu di tengah lebih rendah dibanding suhu pinggir dan jauh hutan kota, dimana beda suhu antara titik pengukuran tengah hutan kota (T2) dengan pinggir hutan kota (T1) di hutan kota jalan jakarta adalah sebesar 3.24%, hutan kota malabar adalah 1.21% dan hutan kota velodrome adalah sebesar 3.64% Perubahan suhu antara titik tengah dengan titik jauh hutan kota di hutan kota jalan jakarta adalah 5.24%, hutan kota malabar sebesar 3.64% dan hutan kota velodrome sebesar 5.26%.
Hasil analisis uji t menunjukan hutan kota memberikan efek menurunkan suhu dibanding daerah yang tidak bervegetasi (jauh dari hutan kota). Perbedaan nyata ditujukan pada hutan kota JB (p = 0.01*), hutan kota GB (p = 0.04*), hutan kota SB        (p = 0.02*).
Hutan kota ternyata sangat berpengaruh terhadap suhu udara.

Hutan Kota Jalan Jakarta
Suhu udara di tiga titik pengukuran pada Hutan Kota Jalan Jakarta me-nunjukkan pola yang sama, peningkatan suhu mulai terjadi terjadi pada pukul 09.00 – 14.00 dengan tingkat suhu tertinggi pada pukul 13.00 kecuali di lokasi pengukuran pinggir hutan, suhu tertinggi dicapai pada pukul 14.00 (29.00C). Suhu tertinggi untuk tengah hutan kota mencapai 29,00C dan lokasi jauh hutan kota mencapai 34,50C.





 
















Gambar 1. Sebaran suhu pada tiga lokasi pengukuran di Hutan kota Jalan Jakarta

               


Secara statistik, penurunan suhu udara di hutan kota jalan jakarta menujukan perbedaan yang nyata berdasarkan uji t (0.05%). Perbedaan suhu antara posisi tengah (T1) dan pinggir (T2) tidak menunjukan perbedaan nyata (p = 0.08ns) namun tercatat mampu menurunkan suhu sebesar 0.750C. Perbedaan suhu antara posisi T2 dengan T3 berbeda nyata (p=0.01*) dimana posisi T1 mampu menurunkan suhu sebesar 1.280C.  Perbedaan suhu yang tidak nyata juga ditunjukan antara posisi pinggir dan jauh hutan kota (p=0.329ns), dengan mean diference sebesar 0.520C.

Hutan Kota di Jalan Malabar
suhu di hutan kota malabar menunjukan grafik peningkatan pada siang hari dan semakin menurun pada sore hari (Gambar 2).











 



















Gambar 2. Grafik perubahan suhu menurut perubahan waktu di tiap posisi pengukuran di hutan kota malabar.




Perbedaan suhu di tiap titik pengukuran suhu hutan kota, dimana suhu pada posisi tengah menunjukan nilai paling rendah yaitu 24,40C dibanding suhu pada pingir sebesar 24,70C dan suhu jauh sebesar 25,30C. Hal ini menunjukan bahwa hutan kota mampu menurunkan suhu sebesar 1.21% di daerah pinggir hutan dan 3.63% di daerah jauh dari hutan kota.
Hasil uji t memperlihatkan bahwa,  penurunan suhu udara di hutan kota malabar menujukan tidak adanya perbedaan yang nyata berdasarkan uji t (0.05%) antara posisi T1 dan T2 (p=0.43ns), serta posisi T1 dan T3 (p=0.21ns). Sedangkan posisi T2 dibandingkan dengan posisi T3 menunjukan perbedaan yang signifikan (p=0.04*). Penurunan suhu pada posisi tengah hutan kota adalah sebesar 0.340C dibanding suhu posisi pingir dan 0.960C dari suhu pada posisi jauh dari hutan kota.

Hutan Kota Velodrome
Suhu di tiga titik pengukuran pada hutan kota velodrome menunjukan pola yang sama, dimana peningkatan suhu mulai terjadi terjadi pada pukul 06.00 – 13.00 dan mulai menurun hingga pukul 17.00. Tingkat suhu tertinggi pada pukul 13.00 kecuali di lokasi pengukuran pinggir hutan, suhu tertinggi dicapai pada pukul 16.00. Suhu tertinggi di pinggir hutan kota mencapai 30,60C,  untuk tengah hutan kota mencapai 30,00C dan lokasi jauh hutan kota mencapai 33,00C.













 




















Gambar 3. Grafik perubahan suhu menurut perubahan waktu di tiap posisi pengukuran di hutan kota velodrome.




Perubahan penurunan suhu pada posisi tengah hutan kota adalah sebesar 0.90C (3.64%) dibanding suhu posisi pingir dan 1.30C (5.26%) dari suhu pada posisi jauh dari hutan kota.  Hasil uji t memperlihatkan bahwa, penurunan suhu udara di hutan kota velodrome menujukan tidak adanya perbedaan yang nyata berdasarkan uji t (0.05%) antara posisi T1 dan T2 (p=0.08ns), serta posisi T1 dan T3 (p=0.57ns). Namun menunjukan perbedaan yang signifikan antara posisi T2 dibandingkan dengan posisi T3 (p=0.02*).


Kelembapan Udara

Hasil pengkuran kelembapan pada umumnya menunjukan penurunan yang  terjadi mulai pukul 06.00 hingga pukul 13.00 dan berangsur-angsur naik. Perubahan kelembapan mengikuti trend perubahan suhu, dimana jika suhu menurun maka kelembapan akan meningkat dan sebaliknya. Dalam penelitian ini, yang diukur adalah kelembapan relatif, yaitu tekanan uap aktual dibandingkan dengan tekanan uap jenuh pada temperatur yang sama (Monteith dan Usworth, 1990).
Kemampuan hutan kota dalam meningkatkan kelembapan pada posisi T1 rata-rata sebesar 4.7% dan posisi T3 sebesar 9.7%.  Hasil analisis uji t menunjukan hutan kota memberikan efek meningkatkan kelembapan dibanding daerah yang tidak bervegetasi (jauh dari hutan kota). Perbedaan nyata ditujukan pada hutan kota JB (p = 0.01*), dan hutan kota SB (p=0.02*) dan perbedaan yang sangat nyata pada hutan kota GB.








Tabel 2.         Hasil Pengukuran rata-rata kelembapan dan beda di masing-masing hutan kota pada tiga titik pengukuran.

No
Hutan Kota
Rata-rata Kelembapan dan Beda pada titik pengukuran (%)
Tepi (T1)
Dalam (T2)
Luar (T3)
Rata-rata
T2-T1 (%)
T2-T3 (%)
1
Jalan Jakarta (JB)
79,4
83,4
75,5
79,5
5.03
9.93
2
Malabar (GB)
76,8
82,7
71,9
77,1
7.42
13.58
3
Velodrome (SB)
82,7
83,9
79,4
82,0
1.51
5.66
Rata-rata
79.6
8.33
75.6
79.5
4.7
9.7





Hutan Kota Jalan Jakarta

Kelembapan di hutan kota jalan jakarta menunjukan penurunan rata-rata mulai pukul 06.00 hingga pukul 13.00 dimana pada saat tersebut terjadi peningkatan suhu pada wilayah yang sama dan semakin meningkat menjelang sore dan relatif stabil hingga pagi hari.  Perubahan kelembapan pada posisi pengukuran T1 dan T3 dibanding T2 sangat besar. Hutan kota dapat menaikan kelembapan hingga 5.03% dari posisi T1 dan 9.93% posisi T3. Hal ini jelas menunjukan bahwa tingkat kelembapan pada bagian tengah hutan kota lebih tinggi dibandingkan kelembapan pada pinggir hutan kota dan jauh hutan kota. Hal tersebut dimungkinkan karena tingkat kerapatan vegetasi di titik T2 sangat mempengaruhi baik kelembapan maupun suhu. Hal ini jelas menunjukan adanya faktor vegetasi yang memegang peranan penting dalam perubahan iklim mikro.
Hasil uji-t menunjukan bahwa, peningkatan kelembapan di hutan kota jalan jakarta menunjukan perbedaan yang sangat nyata antara posisi T2 dibandingkan dengan posisi T3 (p=0.009**). Namun demikian, tidak adanya perbedaan yang nyata berdasarkan uji t (0.05%) antara posisi T1 dan T2 (p=0.12ns), serta posisi T1 dan T3 (p=0.19ns).
Hutan Kota Malabar

Kelembapan di hutan kota Malabar menunjukan penurunan rata-rata mulai pukul 06.00 hingga pukul 13.00 dimana pada saat tersebut terjadi peningkatan suhu pada wilayah yang sama dan kemudian menaik hingga pukul 19.00 dan selanjutnya relatif stabil hingga pukul 06.00 (gambar 12 dan lampiran 7).  Hasil pengukuran beda kelembapan di hutan kota Malabar seperti ditunjukan pada tabel 5 terlihat jelas perubahan kelembapan pada titik pengukuran T1 dan T3 dibanding T2 sangat besar. Hutan kota jelas dapat meningkatkan kelembapan sebesar 7,42% dari titik pengukuran pinggir (T1) dan 13,58% di titik pengukuran jauh (T3).
Uji t pada skala kepercayaan 5% (lampiran 10.B) menunjukan adanya perbedaan yang nyata dan sangat nyata pada setiap posisi penguruan kelembapan. Pada tabel 6 terlihat bahwa, peningkatan kelembapan di hutan kota malabar menunjukan perbedaan yang sangat nyata antara posisi T2 dibanding posisi T1 (p=0.00**) dan posisi T2 dibandingkan dengan T3 (p=0.00**), serta perbedaan nyata ditunjukan pada posisi T1 banding T3 (p=0.01*).

Hutan Kota Velodrome
Penurunan kelembapan di hutan kota velodrome terjadi mulai pukul 06.00 hingga pukul 12.00 dimana pada saat tersebut terjadi peningkatan suhu pada wilayah yang sama. Selanjutnya kelembapan berangsur-angsur menaik hingga pukul 19.00 dan relatif stabil hingga pukul 06.00. Hasil pengukuran kelembapan di hutan kota Malabar seperti terlihat pada tabel 8 jelas menunjukan perubahan kelembapan pada titik pengukuran T1 dan T3 dibanding T2 sangat besar. Perubahan kelembapan pada titik pengukuran pinggir (T1) dan titik pengukuran jauh (T3) di banding titik pengukuran tengah (T2) adalah sebesar 1.51% (T1) dan 5,66% (T3).
Hasil analisis uji t (tabel 6) terlihat bahwa, peningkatan kelembapan di hutan kota velodrome  menunjukan perbedaan yang nyata antara posisi T2 dibanding posisi T3 (p=0.02*). Akan tetapi tidak terjadi perbedaan yang nyata antara posisi T2 dibanding T1 (p=0.23ns), serta posisi T1 banding T3 (p=0.19ns).


Intensitas Radiasi Matahari
Pengukuran intensitas matahari dilakukan selama 12 (dua belas) jam di tiga lokasi hutan kota menunjukan penyebaran pola yang relatif sama baik pengukuran yang dilakukan pada titik tengah, pinggir, maupun jauh hutan kota. Berdasarkan asumsi awal bahwa akan terjadi perbedaan intensitas cahaya matahari pada bagian tengah hutan kota, pinggir hutan kota maupun jauh hutan kota terbukti menunjukan perbedaan tersebut. Hasil analisis uji t menunjukan terdapat perbedaan yang nyata dan sangat nyata seperti ditunjukan pada tabel 7 di bawah ini.
Hasil analisis uji t (tabel 7) terlihat bahwa, penurunan intensitas cahaya matahari di hutan kota menunjukan perbedaan yang nyata dan sangat nyata antara hutan kota dan daerah disekitar hutan kota.
Hasil pengukuran rata-rata intensitas menunjukan posisi tengah hutan kota (T2) lebih rendah dibandingkan posisi pinggir (T1) dan jauh (T3).




Tabel  3.   Uji t variabel intensitas matahari masing-masing posisi pengukuran di hutan kota Malang.

Hutan Kota
Interaksi
p (0.05%)
Mean Diference
Jalan Jakarta (JB)
Tengah x Pinggir
0.04*
-111.21
Tengah x Jauh
0.007**
-213.11
Pinggir x Jauh
0.20
-101.90
Malabar (GB)
Tengah x Pinggir
0.003**
-209.20
Tengah x Jauh
0.00**
-300.02
Pinggir x Jauh
0.28
-90.82
Velodrome (SB)
Tengah x Pinggir
0.002**
-51.46
Tengah x Jauh
0.004**
-132.73
Pinggir x Jauh
0.06
-81.28
* * terdapat perbedaan yang sangat nyata pada skala kepercayaan 95%
*   terdapat perbedaan yang nyata pada skala kepercaya 95%






Tabel 4. Rata-rata pengukuran intensitas matahari di hutan kota malang.

Intensitas cahaya matahari
T1
T2
T3
Jalan Jakarta
265,4
78,5
215,9
Malabar
223,8
14,6
398,0
Velodrome
82,7
31,2
164,0
Rerata
190.6
41.43
259.3




Hutan Kota Malabar
Hasil pengukuran intensitas cahaya matahari pada umumnya dari pukul 07.00 sampai 14.00 menaik karena puncak penyinaran matahari berada pada waktu-waktu tersebut, dan pada pukul 15.00 sampai dengan 17.00 menurun karena rotasi bumi yang mengelilingi matahari menyebabkan penyinaran cahaya matahari yang mulai berkurang. Intensitas cahaya matahari tertinggi dicapai pada pukul 14.00 dititik pengukuran T1 (487,0), pukul 11.00 pada T2 (43,00) dan pukul 14.00 pada titik T3 (599,0). Sedangkan pengukuran intensitas cahaya matahari terendah pada pukul 07.00 di titik T1 (12,3), pukul 17.00 di titik T2 (1,0) dan 07.00 di titik T3 (28,3). Pada tabel menunjukan bahwa intensitas cahaya matahari pada tengah hutan (T2) lebih rendah dibanding T1 dan T3. Hal tersebut dikarenakan terhalangnya cahaya matahari akibat keberadaan vegetasi yang lebih banyak di titik tengah hutan kota dibanding pinggir dan jauh hutan kota.
Hasil analisis uji t untuk melihat perbedaan intensitas cahaya matahari terhadap posisi pengukuran menunjukan adanya perbedaan yang sangat nyata antara posisi T2 dengan posisi T1 dan posisi T3 (tabel 7). Nilai p antara posisi T2 dibanding posisi T1 adalah 0.003**, dan T2 dibanding T3 adalah 0.000**. Akan tetapi tidak terjadi perbedaan yang nyata antara posisi T1 dibanding T3 (p=0.283ns).

Hutan Kota Jalan Jakarta
Hasil pengukuran intensitas cahaya matahari pada umumnya dari pukul 07.00 sampai 15.00 menaik karena puncak penyinaran matahari berada pada waktu-waktu tersebut, dan pada pukul 15.00 sampai dengan 17.00 menurun karena rotasi bumi yang mengelilingi matahari menyebabkan penyinaran cahaya matahari yang mulai berkurang. Intensitas cahaya matahari tertinggi dicapai pada pukul 12.00 dititik pengukuran T1 (671,3), pukul 10.00 pada T2 (182,0) dan pukul 14.00 pada titik T3 (507,0). Sedangkan intensitas cahaya matahari terendah terjadi pada pukul 17.00 di titik T1 (26,0), pukul 06.00 di titik T2 (1,0) dan 07.00 di titik T3 (33,3). Pada tabel menunjukan bahwa intensitas cahaya matahari pada tengah hutan (T2) lebih rendah(78,5) dibanding T3 (215,9) dan T1 (265,4).
Hasil analisis uji t untuk melihat perbedaan intensitas cahaya matahari terhadap posisi pengukuran menunjukan adanya perbedaan yang sangat nyata antara posisi T2 dengan posisi T3 dan berbeda nyata dengan posisi T1 (tabel 7). Nilai p antara posisi T2 dibanding posisi T1 adalah 0.04*, dan T2 dibanding T3 adalah 0.007**. Akan tetapi tidak terjadi perbedaan yang nyata antara posisi T1 dibanding T3 (p=0.204ns).

Hutan Kota Velodrome
Hasil pengukuran intensitas cahaya matahari di hutan kota velodrome pada umumnya menaik dari pukul 06.00 sampai 13.00 karena puncak penyinaran matahari berada pada waktu-waktu tersebut, dan menurun pada pukul 14.00 sampai dengan 17.00. hal ini lebih disebabkan karena rotasi bumi yang mengelilingi matahari menyebabkan penyinaran cahaya matahari yang mulai berkurang. Intensitas cahaya matahari tertinggi dicapai pada pukul 10.00 dititik pengukuran T1 (133,3), pukul 12.00 pada T2 (53,0) dan pukul 12.00 pada titik T3 (385,3). Sedangkan pengukuran intensitas cahaya matahari terendah terjadi pada pukul 06.00 di titik T1 (9,0), pukul 17.00 di titik T2 (7,0) dan 06.00 di titik T3 (10,3). Pada tabel menunjukan bahwa rata-rata intensitas cahaya matahari pada tengah hutan (T2) lebih rendah (31,2) dibanding pinggir hutan (T1) sebesar 82,7 dan jauh hutan (T3) sebesar 164,0. Hal tersebut dikarenakan terhalangnya cahaya matahari akibat keberadaan vegetasi yang lebih banyak di titik tengah hutan kota dibanding pinggir dan jauh hutan kota.
Hasil analisis uji t untuk melihat perbedaan intensitas cahaya matahari terhadap posisi pengukuran menunjukan adanya perbedaan yang sangat nyata antara posisi T2 dengan posisi T1 dan posisi T3 (tabel 7). Nilai p antara posisi T2 dibanding posisi T1 adalah 0.002**, dan T2 dibanding T3 adalah 0.004**. Akan tetapi tidak terjadi perbedaan yang nyata antara posisi T1 dibanding T3 (p=0.06ns).


Hubungan korelasi antar variabel

Hutan kota jalan jakarta (JB)

Hasil uji korelasi menunjukan adanya hubungan bernilai linier negatif antara variabel suhu dan kelembapan, namun tidak ada hubungan korelasi antar semua variabel terhadap intensitas matahari di posisi pinggir hutan (T1). Uji korelasi di posisi pengukuran T1 hutan kota jalan jakarta antar variabel suhu dan kelembapan memiliki korelasi sempurna dengan bentuk hubungan linier negatif (r=95.5%). Hal ini mengindikasikan stiap adanya kenaikan suhu maka di ikuti dengan kelembapan yang menurun. Sedangkan untuk variabel intensitas matahari tidak menunjukan adanya hubungan korelasi dengan variabel suhu udara (r=13.6%) dan variabel kelembapan (r=6.0%).
Hubungan yang sama juga ditunjukan pada posisi tengah hutan kota (T2), dimana terlihat  variabel suhu udara dan kelembapan memiliki hubungan korelasi bernilai linier negatif (r=94.4%). Sedangkan untuk variabel intensitas tidak memiliki hubungan korelasi dengan variabel suhu namun memiliki hubungan korelasi nyata (linier positif) dengan kelembapan (r=70.6%).
Hubungan korelasi di posisi jauh dari hutan kota (T3) menunjukan hubungan suhu dan kelembapan bernilai linier negatif dengan tingkat signifikansi yang sangat nyata (r=97.2%).  Korelasi antar variabel suhu dan intensitas matahari tidak memiliki hubungan yang nyata dengan r=12.2%, sedangkan hubungan antara kelembapan dan intensitas matahari pun pun tidak memiliki hubungan nyata (r=17.5%).

Hutan Kota Malabar (GB)
Hasil uji korelasi menunjukan adanya hubungan bernilai linier negatif antara variabel suhu dan kelembapan, namun tidak ada hubungan korelasi antar semua variabel terhadap intensitas matahari di posisi pinggir hutan (T1). Uji korelasi di posisi pengukuran T1 hutan kota malabar antar variabel suhu dan kelembapan memiliki korelasi sempurna dengan bentuk hubungan linier negatif (r=99.1%). Hal ini mengindikasikan setiap adanya kenaikan suhu maka di ikuti dengan kelembapan yang menurun. Sedangkan untuk variabel intensitas matahari tidak menunjukan adanya hubungan korelasi denngan variabel suhu udara (r=12.2%) dan variabel kelembapan (r=17.5%).
Hubungan yang sama juga ditunjukan pada posisi tengah hutan kota (T2), dimana terlihat  variabel suhu udara dan kelembapan memiliki hubungan korelasi bernilai linier negatif (r=77.1%). Sedangkan untuk variabel kelembapan dengan intensitas matahari memiliki hubungan korelasi linier positif dengan r = 62.1%. hubungan antara suhu dengan intensitas matahari tidak memiliki hubungan nyata dengan r = 41.4%.
Posisi jauh hutan kota (T3), memperlihatkan hubungan yang erat antara suhu udara dan kelembapan dengan nilai korelasi linier negetaif (r=96.1%), namun tidak memiliki hubungan korelasi linier antara suhu dan intensitas cahaya matahari (r=7.7%) dan antara kelembapan dengan intensitas cahaya matahari (r=5.8%).

Hutan kota velodrome (SB)
Hasil uji korelasi menunjukan adanya hubungan bernilai linier negatif antara variabel suhu dan kelembapan, namun tidak ada hubungan korelasi antar semua variabel terhadap intensitas matahari di posisi pinggir hutan (T1).
Uji korelasi di posisi pengukuran T1 hutan kota velodrome antar variabel suhu dan kelembapan memiliki korelasi sempurna dengan bentuk hubungan linier negatif (r=93.1%). Hal ini mengindikasikan setiap adanya kenaikan suhu maka di ikuti dengan kelembapan yang menurun. Sedangkan untuk variabel intensitas matahari tidak menunjukan adanya hubungan korelasi dengan variabel suhu udara (r=23.3%) dan variabel kelembapan (r=19.2%).
Hubungan yang sama juga ditunjukan pada posisi tengah hutan kota (T2), dimana terlihat  variabel suhu udara dan kelembapan memiliki hubungan korelasi bernilai linier negatif (r=96.3%). Hubungan suhu dengan intensitas matahari juga bernilai negatif dan tidak memiliki hubungan korelasi (r=49.2%). Sedangkan untuk variabel kelembapan dengan intensitas matahari memiliki hubungan korelasi linier positif dengan r = 27.5%.
Posisi jauh hutan kota (T3), memperlihatkan hubungan yang erat antara suhu udara dan kelembapan dengan nilai korelasi linier negatif (r=95.2%). Tidak terdapat hubungan korelasi antara suhu dengan intensitas matahari di posisi T3 (r=49.2) serta antara variabel kelembapan dan intensitas matahari (r=47.6%).

Pengaruh Bentuk Hutan Kota Terhadap Kualitas Lingkungan dan Kenyamanan

Pengelompokan Hutan Kota di Kota Malang
       
Hutan kota yang terdapat di Malang secara umum memiliki 3 (tiga) bentuk dan satu struktur  seperti tertera pada tabel 17 di bawah ini.





Tabel  5.  Bentuk dan Struktur Hutan Kota di Kota Malang

No
Hutan Kota
Bentuk
Struktur
1
Jalan Jakarta
Menjalur
Strata Banyak
2
Malabar
Bergerombol
Strata Banyak
3
Velodrome
Menyebar
Strata Banyak
4
Pandanwangi
Bergerombol
Strata Banyak
5
Hamid Rusdi
Menyebar
Strata Banyak
6
Indragiri
Menjalur
Strata Banyak
7
Kediri
Bergerombol
Strata Banyak




Hutan kota bentuk bergerombol adalah hutan kota dengan komunitas vegetasinya tumbuh terkosentrasi pada suatu tempat dengan jumlah minimal pohon 100 dengan jarak kurang dari 8 meter atau rapat tidak beraturan. Hutan kota berbentuk menyebar adalah hutan kota dengan vegetasi yang tumbuh menyebar berkelompok maupun terpisah pada areal hutan kota. Sedangkan hutan kota berbentuk menjalur adalah hutan kota dimana vegetasinya tumbuh menjalur di sepanjang hutan kota.
Dari hasil pengamatan langsung di lapangan terlihat bahwa hutan kota malabar, pandanwangi dan kediri adalah hutan kota dengan bentuk bergerombol starata banyak; hutan kota velodrome dan hamid rusdi adalah hutan kota dengan bentuk menyebar strata banyak; hutan kota jalan Jakarta dan Indragiri adalah hutan kota berbentuk menjalur strata banyak. Penataan hutan kota lebih mengutamakan estetika dibandingkan fungsi hidrologis dan iklim

Vegetasi di hutan Kota
Vegetasi sangat bermanfaat untuk merekayasa lingkungan di perkotaan. Selain merekayasa estetika, mengontrol erosi dan air tanah, mengurangi kebisingan, mengendalikan air limbah, mengontrol lalulintas dan cahaya yang menyilaukan, mengurangi pantulan cahaya, serta mengurangi bau. Hal tersebut dikarenakan keberadaan bagian-bagian tumbuhan seperti daun batang dan akar yang sangat bermanfaat dalam mengendalikan berbagai ketidaknyamanan lingkungan akibat aktifitas manusia. Daun dengan bulu-bulu serta stomata mampu memberikan kesejukan dan mengurangi debu melalui proses transpirasi serta penahan partikel di udara. Batang dan daun mampu meredam bunyi. Bunga dapat memberikan nilai estetika. Akar tumbuhan dapat menahan laju erosi dan menyediakan cadangan air dalam tanah.





Tabel 6. Jumlah Vegetasi dan Luas hutan kota di wilayah Kota Malang

No
Nama
Jumlah vegetasi
Luas hutan kota (m2)
1
Jalan Jakarta
1.546
11.895
2
Malabar
1.048
16.718
3
Velodrome
2.083
12.500
4
Pandanwangi
93
1.400
5
Hamid Rusdi
949
18.000
6
Indragiri
118
2.500
7
Kediri
355
5.479

Jumlah

68.492


Tabel  7.  Tingkat kerapatan vegetasi beberapa Hutan Kota di Malang.

No
Nama
Kerapatan (m2)
1
Jalan Jakarta
7,69
2
Malabar
15,95
3
Velodrome
6,00
4
Pandanwangi
15,05
5
Hamid Rusdi
14,97
6
Indragiri
11,19
7
Kediri
15,43

Jumlah





Keberadaan hutan kota di Kota Malang juga didominasi berbagai vegetasi. Keberadaan mereka yang menyerupai hutan alam diharapkan dapat memberikan manfaat selayaknya bagi kenyamanan mahluk hidup lain di sekitarnya. Jumlah vegetasi pohon yang terdapat di hutan kota malang ditunjukan pada Tabel 6.  Jumlah vegetasi di setiap hutan kota berbeda berdasarkan luas pemanfaatan ruang untuk hutan kota yang disediakan. Luas hutan kota yang terdapat di kota Malang disajikan pada Tabel 6. Berdasarkan data yang dihimpun, tingkat kerapatan vegetasi pada tiap hutan kota di Malang adalah seperti terdapat pada Tabel 7.

Kualitas lingkungan di sekitar hutan kota.

Perbedaan suhu di tiap posisi hutan kota, menunjukan suhu paling rendah di posisi tengah hutan kota yaitu 23,70C pingir hutan kota 24,60C dan suhu jauh hutan kota 25,00C. Hutan kota ternyata mampu menurunkan rata-rata suhu pinggir sebesar 2.83% dan suhu jauh hutan sebesar 4.84%. Hal ini menunjukan adanya sejumlah vegetasi di hutan kota mampu mengaleomerasi suhu menjadi rendah. Bentuk hutan kota ternyata memegang peranan penting dalam menurunkan suhu. Hal ini terbukti dari kemapuan hutan kota velodrome  yang menyebar berkelompok (SB) mampu menurunkan suhu hingga 5.26% dibandingkan daerah yang tidak bervegetasi. Hutan kota dengan bentuk bergerombol strata banyak (GB) hanya mampu menurunkan suhu sebesar 3.64% dan hutan kota bentuk menjalur (JB) mampu menurunkan suhu sebesar 5.24% dibanding daerah yang tidak bervegetasi.
Hasil uji t menunjukan adanya perbedaan suhu yang nyata antara posisi dalam hutan kota dan luar jauh hutan kota. Hal ini mengindikasikan begitu besar efek keberadaan vegetasi dalam menurunkan suhu. Tanaman dalam kehidupannya pada siang hari melepaskan O2 dan menyerap CO2 dalam proses fotosintesinya. Sebatang pohon dapat menyumbangkan O2 di udara sebanyak 1.2 kg setiap harinya. Bentuk hutan kota menyebar memberikan kesempatan lebih banyak pohon untuk tumbuh dan berkembang. Semakin banyak pohon yang tumbuh di areal hutan kota maka kesejukan akibat ketersediaan oksigen yang melimpah di wilayah tersebut akan lebih baik dibandingkan daerah yang sedikit atau tanpa vegetasi pohon.  Bentuk hutan kota SB (velodrome) lebih baik dalam mengameliorase iklim dibandingkan hutan kota bentuk GB (malabar) dan JB (jakarta). Hal ini dimungkinkan karena bentuk hutan kota SB memiliki vegetasi yang menyebar sehingga memungkinkan efek penurunan suhu yang menyebar pada lingkungan sekitar. Zoeraini. D.I (2004) menyampaikan hal yang sama bahwa, hutan kota dengan bentuk menyebar dan memiliki strata banyak akan lebih efektif memberikan efek bagi lingkungan sekitarnya dibandingkan bentuk bergerombol dan menjalur. Hutan kota juga sangat membantu menurunkan suhu sekitarnya sebesar 3,46% di siang hari pada permulaan musim hujan. Bentuk hutan kota yang menyebar strata banyak di hutan kota velodrome memungkinkan peranan vegetasi untuk menurunkan suhu sekitar sangat efektif dibanding hutan kota malabar dan jalan jakarta. Hal tersebut disebabkan keberadaan vegetasi yang menyebar sehingga memberikan efek terhadap lingkungan dengan lebih merata dan tersebar. Berbeda dengan bentuk hutan kota yang bergerombol, pengaruhnya terhadap lingkungan lebih cenderung pada sisi-sisi yang dekat dengan hutan kota. 
Luasan areal yang diperuntukan bagi hutan kota juga sangat mempenagruhi terciptanya kualitas lingkungan. Pertumbuhan vegetasi di hutan kota bentuk menjalur jalan jakarta yang menjalur sangat memungkinkan tipis bahkan tidak adanya perubahan yang nyata antara suhu pinggir, tengah dan jauh hutan kota. Ketersediaan lahan bagi hutan kota bentuk menjalur relatif sangat terbatas. Hal ini dikarenakan keberadaan bentuk hutan kota ini kebanyakan berada pada tengah jalan raya yang berfungsi ganda sebagai boulevard jalan. Peruntukan lahan yang sempit/terbatas sangat mempengaruhi keberadaan jumlah vegetasi di hutan kota tersebut. Keterbatasan vegetasi di suatu areal secara langsung akan mempengaruhi suhu pada wilayah tersebut, Dahlan (2005).
Keberadaan vegetasi yang melimpah dalam hutan kota membantu terciptanya suhu lingkungan yang lebih baik akibat adanya proses evaporasi dan transpirasi yang dilakukan oleh vegetasi dalam hutan kota. Kondisi ini dapat memberikan efek yang baik bagi kondisi lingkungan sekitarnya baik dalam menjamin sistim hidrologi maupun bagi kesehatan udara di lingkungan sekitar.
Hasil uji korelasi menunjukan adanya keeratan hubungan yang nyata dengan grafik linier positif antara tiap posisi pengukuran suhu (lampiran 13). Hal ini menunjukan perubahan suhu di tengah hutan kota memberikan efek juga pada perubahan suhu di posisi pinggir dan jauh. Keberadaan vegetasi dalam menurunkan suhu memberikan efek pada penurunan suhu di lingkungan sekitar. Keberadaan vegetasi dalam jumlah banyak sebaiknya ditempatkan pada daerah-daerah dengan iklim yang panas atau di daerah dengan tingkat kepadatan lalulintas yang tinggi agar dapat menurunkan suhu kingkungan sekitar.
Perubahan suhu di sekitar hutan kota berkorelasi linier negatif dengan tingkat kelembapan relatif (RH), dimana jika terjadi penurunan suhu, maka kelembapan yang terjadi disekitar hutan kota akan menaik, dan begitu pula sebaliknya.  Hutan kota mampu mempengaruhi tingkat kelembapan rata-rata 9.7% dibanding daerah tidak bervegetasi, dan mampu menurunkan kelembapan hingga 4.7% di daerah pinggir hutan kota.
Kelembapan relatif secara statitik di setiap hutan kota menunjukan perbedaan yang nyata dan sangat nyata berdasarkan uji t pada setiap posisi pengukuran (T1, T2, T3). Bentuk hutan kota GB (malabar) mampu memberikan perbedaan yang sangat nyata antara posisi tengah hutan (T2) dibanding posisi jauh dari hutan (T3) dengan nilai p=0.000**. Hutan kota JB (jakarta) juga memberikan efek yang sangat nyata berbeda tingkat kelembapan antara hutan kota (T2) dengan daerah yang tidak bervegetasi (T3) dengan nilai p=0.009**. Hutan kota velodrome (SB) memberikan perbedaan yang nyata antara posisi T2 dengan T3 (p=0.02) hal ini menunjukan bahwa hutan kota dengan adanya beragam vegetasi yang tumbuh dan berkembang di situ akan memberikan peningkatan kelembapan yang lebih baik dibandingkan daerah tanpa adanya vegetasi. Kelembapan yang semakin meningkat memberikan efek bagi penurunan suhu menjadi lebih sejuk. Selain itu kelembapan yang tinggi memberikan efek kesehatan terutama dalam menekan perkembangan mikroorganisme yang merugikan disekitar wilayah tersebut (Amsyari Fuad, 1996). Secara tabulasi, kelembapan terbaik ditunjukan oleh hutan kota berbentuk menyebar (SB) pada posisi tengah hutan kota (83.929). Hal tersebut dimungkinkan karena kondisi areal yang ditumbuhi banyak tanaman sangat efektif dalam meningkatkan kelembapan karena tidak lepas dari adanya proses evapotranspirasi dan respirasi yang terjadi pada permukaan yang bervegetasi.
Intensitas matahari tidak berkorelasi positif dengan suhu dan kelembapan. Hal ini menunjukan bahwa faktor cahaya matahari sangat kecil pengaruhnya pada kondisi iklim hutan kota dan keberadaan vegetasi memungkinkan terciptanya iklim mikro disekitar hutan kota. Hasil uji t menunjukan adanya perbedaan yang sangat nyata antara intensitas matahari di posisi tengah hutan kota (T2) dengan posisi T1 dan T2. Intensitas matahari di hutan kota JB menunjukan perbedaan yang sangat nyata antara posisi T2 dengan T3 (p=0.007**) dan berbeda nyata pada posisi T1 (p=0.04*). Hutan kota GB juga menunjukan perbedaan yang sangat nyata antara posisi T2 dengan T1 (p=0.003**) dan T3 (p=0.00**). Uji t pada hutan kota SB menunjukan perbedaan yang sangat nyata di posisi T2 dengan T1 (p=0.002**), dan posisi T2 dengan posisi T3 (p=0.004**).
Terkosentrasinya vegetasi dalam hutan kota memberikan efek naungan terhadap intensitas matahari secara langsung menjadi lebih baik. Penapisan yang baik menyebabkan tidak terjadi peningkatan suhu akibat penyinaran langsung dari matahari pada daerah hutan kota. Hasil pengamatan di hutan kota menunjukan bahwa hutan kota dengan bentuk bergerombol dan menyebar menunjukan pengaruh terbaik dalam mereduksi cahaya matahari ke permukaan tanah. Hal ini tak lepas dari adanya keberadaan vegetasi yang menaungi areal sekitarnya dan menciptakan iklim mikro yang mampu menjaga kestabilan pemanasan di sekitar areal hutan kota.
Penilaian kenyamanan di hutan kota pada penelitian ini menggunakan data suhu. Indeks kenyamanan yang dihitung berdasarkan perhitungan yang dikeluarkan oleh Sani, (1986), dengan rumus : IK = 0.7(TB) + 0.2(TG) + 0.1(TK). Penilaian ketidaknyamanan di hutan kota diperoleh bahwa bentuk maupun posisi hutan kota di Kota Malang saat ini masih berada dalam kisaran cukup nyaman dengan nilai IK berkisar antara 71,7 – 74.7. indeks kenyamanan berada pada kisaran nilai 61 – 71. Diatas 71 orang sudah merasa kurang nyaman. Jika merunut pada ketetapan di atas maka hutan kota di malang belum dapat mewujudkan rasa nyaman bagi masyarakat yang melakukan aktifitas di daerah sekitar lingkungan hutan kota. Akan tetapi sebagian besar masyarakat yang beraktifitas di daerah tersebut menyatakan bahwa mereka sudah merasa nyaman dengan iklim mikro di sekitar lingkungan hutan kota. Zona rasa nyaman seseorang memang sangat bervariasi tergantung pada kesenangan seseorang, karakteristik fisik, psikologi, dan aktifitas seseorang. Selain itu, usia dan kebudayaan juga sangat mempengaruhi (Robinete,1983 dalam Zoeraini D.I, 2004). Hal ini di duga juga mempengaruhi masyarakat dalam menyatakan rasa nyaman di daerah hutan kota.
Masalah perkotaan di Indonesia akibat ketimpangan tingkat penyediaan pelayanan kota, yang tidak seiring dengan pertumbuhan penduduk. Perencanaan kota sebagai bagian dari pemecahan masalah perkotaan perlu dikaitkan dengan pemahaman penduduk, termasuk jumlah pertumbuhannya. Pengambilan model kota dunia Barat merupakan salah satu faktor yang berpengaruh dalam masalah perkotaan berkaitan dengan perencanaan kota di Indonesia dengan penduduknya yang memiliki tingkat kemampuan berbeda.
Artikulasi ruang yang terbangun itu menjadi bermakna hanya apabila dikaitkan dengan manusia. Manusia tinggal dengan berdesakan atau leluasa dalam bekerja, rekreasi, berlalu lalang, berjalan kaki maupun berkendaraan. Dalam pengembangan kota pada umumnya yang menjadi acuan adalah konsep kota taman (garden city) yang pada dekade pertama abad ini sudah diterapkan di Eropa, misalnya kota Welwyn di Inggris. Perubahan dan kesinambungan yang terjadi berlangsung dalam tiga kategori, yaitu secara :
1. Perorangan (individu)
2. Kelompok (sociental)
3. Kelembagaan (institusional)
Ketiga kategori tersebut wajib dicermati secara holistik integratif (sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan). Konsep kota taman yang dikembangkan oleh Ebenezer Howard, di luar daerah yang dibangun atau pusat-pusat industri agar orang dapat kembali menyatu dengan alam. Konsep fisik ini harus diimbangi dengan perencanaan ekonomi dan sosial dalam hubungannya dengan lingkungan. Kemudian muncul konsep kota putih yang dikembangkan oleh Daniel H. Buruham (1983) sebagai kontras terhadap kota industri yang hitam. (Sundari, 2007)








Tabel 8.   Indeks ketidaknyamanan pada hutan kota GB, JB, dan SB di kota Malang.

Hutan Kota
Indeks Ketidaknyamanan
Pinggir
Tengah
Jauh
Malabar (GB)
72.6
72.1
72.8
Jl. Jakarta (JB)
73.3
72.0
74.7
Velodrome (SB)
72.5
71.7
73.3




Hal ini menunjukan bahwa bentuk hutan kota yang efektif sebaiknya mengikuti bentuk hutan kota menyebar strata banyak (SB) karena dengan keberadaan vegetasi yang menyebar akan mempengaruhi iklim mikro yang akhirnya berdampak nanti pada tingkat kenyamanan lingkungan sekitar
Peran-serta Pemerintah Daerah Terhadap Pengelolaan Hutan Kota

Persepsi masyarakat terhadap keberadaan hutan kota sangat beragam. Wawancara dilakukan dengan berbagai instansi yang relevan terhadap akses pemanfaatan dan pengelolaan hutan kota, baik instansi swasta maupun pemerintah. Dari hasil wawancara dapat diketahui bahwa :
1.   Belum terdapat persamaan persepsi dari pejabat pada masing-masing instansi yang dihubungi di Pemkot Malang.
2.   Belum jelas bentuk hutan kota yang ada di Malang.
3.   Kegiatan Malang Ijo Royo-royo adalah dalam rangka membangun RTH termasuk hutan kota. Partisipasi masyarakat dalam kegiatan ini masih banyak bersifat seremonial dan belum sampai ke taraf pemeliharaan yang lebih intensif.
4.   pada umumnya setiap instansi yang terkait masih memperebutkan lahan untuk mengejar target masing-masing. Hingga penelitian berlangsung, masing-masing instansi yang terkait dengan hutan kota masih mempunyai tugas sendiri-sendiri, dan belum terpadu.
5.   Pengadaan jenis-jenis tanaman di hutan kota seyogyanya dipilih yang dapat mengundang keberadaan satwa.
6.   Pengadaan lahan untuk hutan kota semakin sulit karena persaingan dengan kepentingan pembangunan lainnya seperti jalan, pemukiman, industri, dan perdagangan.
7.   Keterlibatan perguruan tinggi dalam mensukseskan kegiatan-kegiatan penghijauan sangat diperlukan. Hingga saat ini dukungan perguruan tinggi dirasakan masih sangat kurang.
8.   Dari pengamatan di lapangan ternyata bentuk penghijauan hutan kota ada yang berbentuk :
a.   Bentuk jalur, lebarnya tidak dibatasi. Bentukan jalur mengikuti bentuk tertentu misalnya jalan, sungai dan memiliki 1 (satu) atau lebih jalur. Bentuk hutan kota ini tidak dapat dimanfaatkan untuk sarana bermain karena tidak memiliki space yang cukup serta tidak dilengkapi sarana bermain/wisata.
b.   Bergerombol, suatu areal yang ditumbuhi lebih dari 100 pohon besar dan kecil.
c.    Menyebar, suatu areal yang ditumbuhi lebih dari 100 pohon besar dan kecil tetapi terpisah-pisah membentuk kelompok dalam suatu areal tertentu.

Hasil wawancara dengan berbagai instansi ternyata pembangunan hutan kota belum mempertimbangkan bentuk hutan kota. Bentuk hutan kota yang ada selama ini ternyata secara kebetulan karena pengaturan vegetasi yang ada dalam hutan kota dengan tujuan estetika, dan belum mempertimbangkan fungsi ekologi ataupun fungsional.


KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
1.       Bentuk hutan kota menyebar strata banyak (SB) lebih baik dalam mengameliorasi iklim mikro (suhu, intensitas cahaya matahari serta kelembapan) dibanding hutan kota bentuk bergerombol strata banyak (GB) dan hutan kota bentuk menjalur strata banyak (JB). Hutan kota SB (velodrome) dapat menurunkan suhu hingga 5,26% dibanding hutan kota bentuk JB (jalan Jakarta) yang dapat menurunkan suhu sebesar 5.24%, dan hutan kota GB (Malabar) sebesar 3.64%. hutan kota. Kelembapan di hutan kota SB dapat ditingkatkan hingga 5.66%, hutan kota bentuk JB sebesar 9.93% dan hutan kota GB sebesar 13.58%. Perubahan kelembapan yang tidak terlalu besar ini menunjukan adanya kestabilan bentuk hutan kota SB dalam menjaga iklim mikro setempat. Uji BNT pada skala kepercayaa 5% menunjukan bentuk hutan kota SB lebih baik dalam menapis intensitas cahaya (92.630a) dibanding GB (184.370b) dan hutan kota JB (186.574b).
2.       Hasil uji t menunjukan adanya perbedaan suhu yang nyata antara posisi dalam hutan kota dan luar jauh hutan kota. Hal ini mengindikasikan begitu besar efek keberadaan vegetasi dalam menurunkan suhu. Bentuk hutan kota SB (velodrome) lebih baik dalam mengameliorase iklim dibandingkan hutan kota bentuk GB (malabar) dan JB (jakarta). Hal ini dimungkinkan karena bentuk hutan kota SB memiliki vegetasi yang menyebar sehingga memmungkinkan efek penurunan suhu yang menyebar pada lingkungan sekitar. Hutan kota GB yang bergerombol, pengaruhnya terhadap lingkungan lebih cenderung pada sisi-sisi yang dekat dengan hutan kota. 
3.       Kelembapan relatif secara statitik di setiap hutan kota menunjukan perbedaan yang nyata dan sangat nyata berdasarkan uji t pada setiap posisi pengukuran (T1, T2, T3). Bentuk hutan kota GB (malabar) mampu memberikan perbedaan yang sangat nyata antara posisi tengah hutan (T2) dibanding posisi jauh dari hutan (T3) dengan nilai p=0.000**. Hutan kota JB (jakarta) juga memberikan efek yang sangat nyata berbeda tingkat kelembapan antara hutan kota (T2) dengan daerah yang tidak bervegetasi (T3) dengan nilai p=0.009**. Hutan kota velodrome (SB) memberikan perbedaan yang nyata antara posisi T2 dengan T3 (p=0.02) hal ini menunjukan bahwa hutan kota dengan adanya beragam vegetasi yang tumbuh dan berkembang di suatu areal akan memberikan peningkatan kelembapan yang lebih baik dibandingkan daerah tanpa adanya vegetasi karena tidak lepas dari adanya proses evapotranspirasi dan respirasi yang terjadi pada permukaan yang bervegetasi. Kelembapan yang semakin meningkat memberikan efek bagi penurunan suhu menjadi lebih sejuk.
4.       Hasil uji t menunjukan adanya perbedaan yang sangat nyata antara intensitas matahari di posisi tengah hutan kota (T2) dengan posisi T1 dan T2. Intensitas matahari di hutan kota JB menunjukan perbedaan yang sangat nyata antara posisi T2 dengan T3 (p=0.007**) dan berbeda nyata pada posisi T1 (p=0.04*). Hutan kota GB juga menunjukan perbedaan yang sangat nyata antara posisi T2 dengan T1 (p=0.003**) dan T3 (p=0.00**). Uji t pada hutan kota SB menunjukan perbedaan yang sangat nyata di posisi T2 dengan T1 (p=0.002**), dan posisi T2 dengan posisi T3 (p=0.004**). Terkosentrasinya vegetasi dalam hutan kota memberikan efek naungan terhadap intensitas matahari secara langsung menjadi lebih baik. Hasil pengamatan di hutan kota menunjukan bahwa hutan kota dengan bentuk bergerombol dan menyebar menunjukan pengaruh terbaik dalam mereduksi cahaya matahari. Penapisan yang baik menyebabkan tidak terjadi peningkatan suhu akibat penyinaran langsung dari matahari pada daerah hutan kota. Hal ini tak lepas dari adanya keberadaan vegetasi yang menaungi areal sekitarnya.
5.       Perubahan suhu di sekitar hutan kota berkorelasi linier negatif dengan tingkat kelembapan relatif (RH), dimana jika terjadi penurunan suhu, maka kelembapan yang terjadi disekitar hutan kota akan menaik, dan begitu pula sebaliknya.  Hutan kota mampu mempengaruhi tingkat kelembapan rata-rata 9.7% dibanding daerah tidak bervegetasi, dan mampu menurunkan kelembapan hingga 4.7% di daerah pinggir hutan kota. Intensitas matahari tidak berkorelasi positif dengan suhu dan kelembapan. Hal ini menunjukan bahwa faktor cahaya matahari sangat kecil pengaruhnya pada kondisi iklim hutan kota dan keberadaan vegetasi memungkinkan terciptanya iklim mikro disekitar hutan kota.
6.       Perhitungan kenyamanan di hutan kota diperoleh bahwa bentuk maupun posisi hutan kota di Kota Malang saat ini masih berada dalam kisaran cukup nyaman dengan nilai    IK berkisar antara 71,7 – 74.7. indeks kenyamanan berada pada kisaran nilai 61 – 71. Jika merunut pada ketetapan di atas maka hutan kota di malang belum dapat mewujudkan rasa nyaman bagi masyarakat yang melakukan aktifitas di daerah sekitar lingkungan hutan kota. Akan tetapi sebagian besar masyarakat yang beraktifitas di daerah tersebut menyatakan bahwa mereka sudah merasa nyaman dengan iklim mikro di sekitar lingkungan hutan kota.

Saran-saran

Tingkat kenyamanan di wilayah kota malang relative masih nyaman, namun disarankan bagi stakeholder agar mencegah penurunan jumlah ketersediaan RTH, mendistribusikan luasan RTH perwilayah sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang berkelanjutan, dan mengkaji peruntukan RTH saat ini yang tidak tepat sasaran atau terkesan tidak terawat dengan baik. Hal ini ditujukan untuk mengantisipasi dampak kerentanan daya dukung lingkungan yang saat ini mulai dirasakan di wilayah kota malang seperti erosi, banjir, longsor, pencemaran dan peningkatan suhu udara di kota. Perencanaan hutan kota dengan bentuk menyebar dan berstrata banyak sebaiknya mulai digalakan di hutan kota yang tersedia saat ini sehingga pemanfaatannya dapat dirasakan dengan lebih baik lagi. Koordinasi antar instansi pemerintah yang berkepentingan dalam mengelola hutan kota maupun RTH secara umum perlu dipertegas lagi agar tidak adanya saling lepas tanggung jawab dalam menjaga keberlanjutan RTH khususnya hutan kota di kota Malang.
Keanekaragaman bentuk hutan berdasarkan peruntukannya dan fungsi yang berbeda dapat menjadi bahan acuan dalam memperkaya khasanah ilmu pengetahuan kita. Bentuk hutan kota yang bergerombol juga sangat di harapkan dapat di terapkan pada areal kampus yang masih kosong sehingga manfaatnya dapat dirasakan bagi masyarakat sekitarnya serta sebagai penyumbang salah satu tridharma perguruan tinggi yaitu pengabdian pada masyarakat.


DAFTAR PUSTAKA

Amsyari F. 1996. Membangun Lingkungan Sehat (Menyambut 50 Tahun Indionesia Merdeka). Airlangga University Press. Surabaya
Bingru Huang.  2006. Plant – Environment Interactions (Ed. 3). Published by CRC Press
Budihardjo E, S. Hardjohubojo. 1993. Kota Berwawasan Lingkungan. Penerbit Alumni. Bandung. pp. 211.
Departemen Kehutanan dan Perkebunan RI, 1999. Nuansa dan Harapan Reformasi Kehutanan dan Perkebunan : Perjalanan 250 Hari Menuju Pengelolaan Sumberdaya Alam yang Berkelanjutan dan Berkeadilan. Jakarta.
Gusmailina. 1995. Pengukuran Kadar CO2 Udara di Dalam Tegakan Beberapa Jenis Hutan Tanaman di Cikole dan Ciwidey, Jawa Barat. Thesis Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor (tidak diterbitkan).
Lorean Michael, S. Naem and Pablo Inchausti. 2004. Biodiversity and Ecosystem Functioning (Synthesis and perspectives) Oxford University Press.
Mohamad Soerjani, A. Yuwono, D. Fardiaz. 2006. Lingkungan Hidup (The Living Environment) Pendidikan, Pengelolaan Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan. Penerbit Yayasan Institut Pendidikan dan Pengembangan Lingkungan (IPPL) Jakarta.
Sastrawijaya, A.T. 2000. Pencemaran Lingkungan. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta. pp.274
Siti Nurisjah. 2005.  Penilaian Masyarakat Terhadap Ruang Terbuka Hijau. Tesis Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor (tidak diterbitkan)
Soemarno, 2004. Model Pengelolaan Sumberdaya Hutan Untuk Pengembangan Wilayah dan Pemberdayaan Masyarakat. Malang.
Soemarwoto, O. 2001. Atur Diri Sendiri : Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup. Penerbit Gadjah Mada University Press. Jogjakarta
Soemarwoto, O. 2004. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Penerbit Djambatan. Jakarta. pp. 381
Soeparmoko M., dan M.R. Soeparmoko., 2000. Ekonomika Lingkungan (Ed. Pertama). Penerbit BPFE. Yogyakarta.
Soerianegara. I. 1986. Ekologi, Ekologisme, dan Pengelolaan Sumberdaya Hutan. Penerbit. Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB Bekerjasama dengan Himpunan Alumni Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor
Soerjani M, A. Yuwono, D. Fardiaz, 2006. Lingkungan Hidup (The Living Environment) Pendidikan, Pengelolaan Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan (Education, Environmental Management and Sustainable Development). Penerbit Yayasan Institut Pendidikan dan Pengembangan Lingkungan. Jakarta. pp.227
Sumarni. 2006.  Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau Pemukiman di Kota Malang. Disertasi Program Pascasarjana Universitas Brawijaya Malang (tidak diterbitkan)
Sundari, E. S. 2007. Studi Untuk Menentukan Fungsi Huta Kota dalam Masalah Lingkungan Perkotaan., Jurnal PWK Unisba Vol. 7 Nomor 2.
Watt, K.E.F. 1973. Principles of Environmental Science. New York San Francisco, Toronto, Mc.Graw Hill
www.tempointeraktif.coma. Hutan Kota Malang tinggal 71,6 ha. Diakses tanggal 18 Juli 2007 pukul : 13.55 WIB.
www.tempointeraktif.comb. Ruang Terbuka Hijau Kota Malang tinggal 4 persen. Diakses tanggal 18 Juli 2007 pukul : 14.00 WIB.



No comments:

Post a Comment