ANALISIS
KUALITAS DAN KENYAMANAN LINGKUNGAN KAWASAN HUTAN KOTA, DI KOTA MALANG
Analysis of Environmental
Quality and Comformity in the Urban Forest of Malang City
Rizald Hussein
Mahasiswa Program Magister
PSLP PPSUB
Bagyo Yanuwiyadi
Dosen Jurusan
Biologi FMIPA UB
Soemarno
Dosen Jurusan Tanah FPUB
ABSTRAK
Pembangunan
fisik yang dilakukan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi suatu perkotaan
menyebabkan berkurangnya areal terbuka hijau. Kenyataan ini menyebabkan
kestabilan ekosistim suatu daerah / kota
terganggu bahkan menurun. Kestabilan ekosistim yang terganggu ini menyebabkan
lingkungan tidak sehat yang ditunjukan dengan meningkatnya suhu udara,
banjir/genangan, kebisingan, intruisi air laut, penurunan permukaan air tanah,
abrasi pantai, pencemaran air minum, pencemaran udara (meningkatnya kadar CO,
CO2, NOx, SOx, Partikulat/debu, dll), suasana
lingkungan yang gersang, monoton, dan tidak menghadirkan nilai estetika bagi
lingkungan. Permasalahan lingkungan yang tidak terselesaikan ini akan menghancurkan potensi
pemenuhan generasi mendatang. Termasuk adanya kemerosotan kualitas lingkungan
bisa berdampak buruk bagi kenyamanan lingkungan, khususnya bagi kehidupan
manusia.
Untuk
mengurangi berbagai dampak negatif kota
akibat pembangunan yang tidak ramah lingkungan tersebut di atas, maka
alternative penyediaan RTH di areal perkotaan mutlak harus ada. Salah satu
bentuk RTH di perkotaan yang juga mengandung nilai estetika tinggi dan dapat
dijadikan ajang sarana rekreasi ialah hutan kota . Hutan kota
merupakan pendekatan dan penerapan salah satu atau beberapa fungsi hutan dalam
kelompok vegetasi di perkotaan untuk mencapai tujuan proteksi, rekreasi,
estetika, dan kegunaan fungsi lainnya bagi kepentingan masyarakat perkotaan.
Untuk itu, hutan kota tidak hanya berarti hutan yang berada di kota, tetapi
dapat pula berarti bahwa hutan kota dapat tersusun dari komponen hutan, dan
kelompok vegetasi lainnya yang berada di kota, seperti taman kota, jalur hijau,
serta kebun dan pekarangan.
Tingkat kenyamanan di Kota
Malang saat ini berada pada kisaran tidak nyaman (nilai IK = > 71).
Pengelolaan Hutan Kota yang masih mengedepankan fungsi estetika dibandingkan
fungsi hidrologis memiliki andil dalam penentuan rasa nyaman di sekitar hutan kota tersebut. Untuk itu
keterpaduan setiap stakeholder dalam merencanakan dan mengelola hutan kota di Malang sangat diperlukan guna terjaga fungsi
hutan kota
dalam memberikan rasa nyaman bagi maasyarakat Kota Malang.
Kata kunci :
hutan kota, indeks kenyamanan, lingkungan, kota malang
ABSTRACT
Physical development is being done to support economic growth
causing a decrease in urban green open area. This
fact led to the stability of the ecosystem of an area / town disrupted even
decreased. The stability of this ecosystem is
disrupted causing an unhealthy environment which is shown by the increase in
air temperature, flood, noise, intruisi sea water, ground water level decline,
coastal erosion, water pollution, air pollution (rising levels of CO, CO2, NOx,
SOx , Particulate / dust, etc.), the arid atmosphere, monotonous, and does not
represent value for environmental aesthetics. Environmental problems are not
resolved it will destroy the potential for future generations because of the
deterioration of environmental quality which impact on environmental comfort,
especially for human life.
In reducing any negative impacts caused by any physical construction
activities in the city that are not environmental
friendly, then any alternative provision of green open-space in urban areas
there is an absolute must. One form of green open-space in urban areas that
also contain a high aesthetical value and can be used as recreational
facilities arena is the urban forest. Urban forestry is an approach and an
application of one or several functions in a group of forest vegetation in
urban areas in achieving objectives of protection, recreation, aesthetics, and
usefulness of other functions for the benefit of urban communities. Urban
forest does not just mean that forests are in town, but it can also mean that
urban forest may be composed of components of forest and other vegetation
groups residing in the city, such as parks, greenways, urban gardens and homeyards.
Comformity
level in Malang City is currently in the range of
uncomfortable (HI value
=> 71). Urban forest is still promoting in
any aesthetical functions than hydrological function, has a share in
determining the sense of comfort in the forest around the city. For the
integrity of every stakeholder in planning and managing urban forest in Malang is very necessary
in order to awake the functions of forests in providing a sense of comfort for
the people of Malang
City .
Keyword : urban forest, comfort level, environmental, malang city
PENDAHULUAN
Kehidupan organisme di bumi
sangat tergantung pada keberadaan tumbuhan hijau. Keberadaan satwa membutuhkan
adanya aliran energi yang disuplai dari tumbuhan dalam menjalankan proses hidup
dan kehidupan. Demikian juga manusia yang dalam kehidupan sehari-harinya
membutuhkan tumbuhan sebagai sumber energi. Keberadaan tumbuhan meng-undang
kehadiran burung sehingga kebutuhan emosional manusia dapat terpenuhi dari
kicauan dan potensial lain yang ada pada mereka. Tidak dapat dipungkiri saat
ini bahwa tumbuhan dalam kehidupan kita memang sangat dibutuhkan oleh manusia.
Keberadaan ruang terbuka
hijau (RTH) sebagai wilayah tumbuhnya tetumbuhan yang dapat menyokong
lingkungan perkotaan saat ini mutlak dibutuhkan, terutama karena nilai positif
yang diberikan terhadap kehidupan warga dan kualitas lingkungan perkotaan. Akan
tetapi kenyataan yang sungguh ironis terlihat saat ini bahwa habitat tumbuhnya
tumbuhan mulai berganti dengan habitat bangunan-bangunan beton sebagai pusat
ekonomi, industri dan property. Perubahan ini sangat jelas terlihat di daerah
perkotaan.
Penurunan habitat tumbuhan
ini menunjukan bahwa masalah pokok yag dihadapi di daerah perkotaan saat ini
bukan lagi semata-mata krisis perencanaan melainkan krisis yang direncanakan.
Sekedar contoh bahwa telah terjadi penurunan kualitas iklim mikro sehingga
membuat masyarakat tidak merasa nyaman karena panas, namun ruang terbuka hijau
yang diperuntukan untuk penanaman vegetasi tetap berkurang. Alih fungsi lahan
bervegetasi kini telah banyak berubah menjadi bangunan beton, jalan raya,
kompleks industri, perumahaan, dan areal private lainnya yang menyebabkan
berkurangnya vegetasi di area tersebut.
Pembangunan
fisik yang dilakukan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi suatu perkotaan
menyebabkan ber-kurangnya areal terbuka hijau. Kenyataan ini menyebabkan kestabilan
ekosistim suatu daerah / kota
terganggu bahkan menurun. Kestabilan ekosistim yang terganggu ini menyebabkan
lingkungan tidak sehat yang ditunjukan dengan meningkatnya suhu udara, banjir /
genangan, kebisingan, intruisi air laut, penurunan permukaan air tanah, abrasi
pantai, pencemaran air minum, pen-cemaran udara (meningkatnya kadar CO, CO2,
NOx, SOx, Partikulat/debu, dll), suasana lingkungan yang
gersang, mo-noton, dan tidak menghadirkan nilai estetika bagi lingkungan.
Untuk
mengurangi berbagai dampak negative kota
akibat pembangunan yang tidak ramah lingkunga tersebut di atas, maka
alternative penyediaan RTH di areal perkotaan mutlak harus ada. Salah satu
bentuk RTH di perkotaan yang juga mengandung nilai estetik tinggi dan dapat
dijadikan ajang sarana rekreasi ialah hutan kota .
Pembangunan
hutan kota
meyangkut masalah ketersediaan lahan yang erat kaitannya dengan masalah tata
ruang kota . Agar
perencanaan sampai tahapa pem-bangunan hutan kota dapat terlaksana secara optimal maka
perlu dilakukan suatu penelitian.
Kebijakan untuk pembangunan
RTH kota ada
dua pendekatan yaitu ; Pendekatan Pertama, RTH kota dibangun pada lokasi-lokasi tertentu
saja. Penentuan luasnya berdasarkan : (1) persentase, yaitu luasan RTH
ditentukan dengan memperhitungkan luasan kota; 2) perhitungan perkapita, yaitu
luasan RTH kota ditentukan berdasarkan jumlah penduduknya; 3) luasan RTH
ditentukan berdasarkan isu utama yang muncul.
Pendekatan kedua, semua
areal yang ada di suatu kota
pada dasarnya adalah areal untuk RTH kota .
Pada pendekatan ini semua komponen yang ada di kota seperti pemukiman, perkantoran dan
industri dipandang sebagai suatu bagian dari RTH kota . Jerman,hongkong, Korea , Jepang,
Singapura mengikuti pendekatan kedua. Mereka juga membuat kebijakan untuk
membuat “hutan beton” yait membangun RTH kota
di atas gedung.
Pendekatan yang digunakan
di Indonesia
ialah pendekatan pertama dengan menggunakan persentase luasan tertentu.
Berdasarkan keputusan Depdagri (1988) luasan RTH kota sebesar 30% dari luas kota seluruhnya. Dirjen reboisasi Lahan dan
Perhutanan Sosial (RLPS) menegaskan 10% luas wilayah harus menjadi kawasan
hutan kota .
Akan tetapi kenyataan di lapangan menunjukan bahwa luasan RTH maupun hutan kota yang telah
ditentukan baik luasan maupun areal telah berkurang akibat pembangunan fisik.
Wilayah yang sedianya dijadikan RTH berubah fungsi menjadi bangunan mall, real
estate, pabrik, maupun sarana-saran fisik lainnya untuk menunjang pertumbuhan
ekonomi.
Wilayah Kota Malang tahun
2007 tercatat memiliki hutan kota
sebesar 0.65% dari keseluruhan total luas Kota Malang yang mencapai 110,06 km2.
Luas areal ruang terbuka hijau Kota Malang juga
tercatat tahun 2007 tersisa 2,89% dari keseluruhan luas Kota Malang. Ruang
terbuka itu terinci 12 Ha ,
sempadan sungai 80 ha ,
tanah pekarangan dan kebun 150
ha , dan sawah 2.940 Ha . Sebaliknya luas lahan yang terbangun
pada tahun 2007 meningkat menjadi 60% dari luas wilayah kota. Kenyataan ini
telah menyalahi aturan pemerintah PP No. 63 tahun 2002 yang menggariskan bahwa
luas ruang terbuka hijau daerah perkotaan minimal 10% dari luas wilayah kota.
Pembangunan yang terjadi menyebabkan berkurangnya luas areal bervegatasi yang
secara langsung menyebabkan berkurangnya vegetasi. Vegetasi dalam ekosistim
berperan sebagai produsen pertama yang mengubah energi surya menjadi energi
potensial untuk mahluk lainnya, perubah terbesar lingkungan dan sebagai sumber
hara mineral.
Setiap terjadi pembangunan di daerah perkotaan, lahan bervegetasi selalu
berkurang. (Budiharjo dan Hardjohubojo, 1993; Zoer’aini, 2005; tempo interaktif.comb).
Penghijauan perkotaan merupakan salah satu usaha pengisian ruang terbuka
hijau (RTH). Kegiatan penghijauan di daerah perkotaan perlu dilakukan untuk
mengurangi tingkat pencemaran udara dan menurunkan suhu agar terasa sejuk.
Menurut Grey dan Deneke (1976) dalam Zoer’aini, (2005) pepohonan dan vegetasi
lainnya dapat memperbaiki suhu kota melalui evapotranspirasi. Sebuah pohon yang terisolir
akan menguapkan air sekitar 400 liter/hari jika air tanah cukup tersedia
(Kramer dan Kozlowski, 1970 dan Federer, 1970 dalam Zoer’aini, 2005).
Penelitian Sani (1986) menunjukan adanya perbedaan suhu di dalam dan di luar
taman kota
sebesar 4,50C. Keadaan sejuknya suhu karena peran tanaman ini perlu
di kembangkan di daerah yang suhunya semakin hari semakin panas dengan cara
menanam lebih banyak tanaman hingga membentuk hutan kota .
Hutan kota adalah komunitas
vegetasi berupa pohon dan asosiasinya yang tumbuh di lahan kota atau sekitar
kota, berbentuk jalur, menyebar, atau bergerombol, dengan struktur
menyerupai/meniru hutan alam, membentuk habitat yang memungkinkan kehidupan
bagi satwa dan menimbulkan lingkungan sehat, nyaman dan estetis. Pengertian ini sejalan dengan PP No 63 Tahun
2002 tentang Hutan Kota yang menggariskan hutan kota sebagai pusat ekosistim
yang dibentuk menyerupai habitat asli dan berisi sumberdaya alam hayati yang
didominasi oleh pepohonan dan menyatu dengan lingkungan sekitarnya. Penempatan
areal hutan kota
dapat dilakukan di tanah negara atau tanah private
yang ditetapkan sebagai hutan kota
oleh pejabat berwenang. Sebagai unsur RTH, hutan kota merupakan suatu ekosistim dengan sistim
terbuka. Hutan kota
diharapkan dapat menyerap hasil negatif akibat aktifitas di perkotaan yang
tinggi. Tingginya aktifitas kota
disebabkan oleh pertumbuhan penduduk dan industri yang sangat pesat di wilayah
perkotaan. Dampak negatif dari aktifitas kota
antara lain meningkatnya suhu udara, kebisingan, debu, polutan, kelembaban
menurun, dan hilangnya habitat berbagai jenis burung dan satwa lainnya karena
hilangnya vegetasi dan RTH (Zoer’aini, 2004; Sumarni, 2006).
Kota Malang yang saat ini mulai mengalami penurunan kualitas lingkungan
akibat pembangunan perlu melakukan upaya guna meningkatkan presentasi luas
areal terbuka hijau sebagaimana disyaratkan dalam PP No. 63 Tahun 2002. Upaya
ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas lingkungan yang berdampak pada
peningkatan kualitas masyarakatnya.
Kajian yang mengarah pada penilaian kualitas lingkungan Kota Malang saat
ini perlu dilakukan untuk mendukung kegiatan di atas. Oleh karena itu
penelitian mengenai kualitas lingkungan udara dan kenyamanan yang ada saat ini
di wilayah hutan kota di Kota Malang dirasa perlu dilakukan sebagai langkah
awal untuk memprediksi kebutuhan hutan kota dan bentuk hutan kota yang tepat di
Kota Malang.
Berdasarkan latar belakang di atas, dirumuskan permasalahan penelitian (1)
Bagaimana hubungan bentuk-bentuk hutan kota terhadap kualitas udara di sekitar
wilayah hutan kota; (2) bagaiman hubungan bentuk-bentuk hutan kota terhadap
tingkat kenyamanan di wilayah hutan kota.
Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah untuk (1) Mengetahui hubungan
bentuk hutan kota terhadap kualitas lingkungan di sekitar hutan kota; (2) mengetahui
pengaruh bentuk hutan kota terhadap tingkat kenyamanan masyarakat di sekitar
wilayah hutan kota.
METODE PENELITIAN
Metode
yang digunakan ialah metode survey dan observasi. Metode survey di lakukan
untuk mengukur suhu udara, kecepatan angin, kelembaban, intensitas cahaya
matahari, dan kerapatan pohon yang dianalisis secara statistic dan disajikan
dalam bentuk tabel dan grafik. Metode observasi dilakukan untuk melihat
aktifitas masyarakat yang memanfaatkan hutan kota dalam berbagai kepentingan
serta persepsi mereka terhadap ekosistim hutan kota.
Penelitian
dilaksankan selama kurang lebih dari satu bulan. Penelitian dilaksanakan pada
Bulan Maret hingga April
2009. Waktu pengambilan sampel dilakukan selama 24 jam dengan
studi kasus hutan kota Malang.
Penelitian
dilaksanakan di tiga wilayah hutan kota Malang, yaitu hutan kota Malabar, hutan
kota Jalan Jakarta, dan hutan kota Velodrome. Setiap hutan kota mewakili
berbagai bentuk hutan kota yang ada yaitu bergerombol (HG), menyebar (HS), dan
bentuk jalur (HJ). Bentuk hutan kota bergerombol adalah hutan kota dengan
komunitas vegetasinya tumbuh terkosentrasi pada sutu areal, dengan jarak tanam
rapat. Bentuk hutan kota menyebar yaitu hutan kota yang komunitas vegetasinya
tumbuh menyebar terpencar dalam kelompok-kelompok kecil. Hutan kota jalur ialah
hutan kota dengan vegetasi yang ditanaman membentuk jalur.
Variabel Penelitian
Variabel
Lingkungan fisik kimia berupa : Iklim mikro yaitu suhu, kelembaban, dan
kecepatan angin
Lingkungan
biologi : jumlah dan kerapatan vegetasi di hutan kota, jumlah jenis vegetasi
Lingkungan
sosial : Aspek sosial meliputi persepsi masyarakat dan instansi pemerintah
terhadap keberadaan dan pengelolaan hutan kota berdasarkan kebijakan Pemerintah
mengenai pengelolaan hutan kota
Teknik Pengumpulan Data
Untuk
mengetahui peranan hutan kota terhadap kualitas udara dan kenyamanan diperoleh
melalui data primer. Sedangkan data sekunder digunakan untuk mengetahui dan
mendiskripsikan keadaan hutan kota dan keadaan lingkungan Kota Malang, bentuk
dan struktur serta fungsi dominan dari hutan kota.
Data Primer
Untuk
melihat peranan bentuk hutan kota terhadap kualitas udara dan tingkat
kenyamanan, dilakukan melalui data primer (asli), yaitu dengan melakukan
pengukuran di lapangan. Pengukuran dilakukan di tiap hutan kota pada tiga titik
lokasi pengukuran yaitu di tepi hutan di pinggir jalan (T1), di tengah-tengah
hutan kota (T2), dan di luar jauh hutan kota (T3).
Pengukuran
suhu, kelembapan, dan kecepatan angin dilakukan setiap jam selama 24 jam yaitu
mulai pukul 01.00 – 24.00. Pengukuran intensitas cahaya dilakukan setiap jam
selama 11 jam yaitu dari pukul 06.00 – 17.00.
a. Pengukuran suhu udara dan kelembaban. Pengukuran suhu udara dan kelembaban
mengunakan thermometer dan hygrometer. Pengukuran dilakukan setiap jam selama
24 jam. Posisi pengukuran dilakukan pada tiga titik pengambilan sampel.
b. Pengukuran
intensitas cahaya. Pengukuran intensitas cahaya dilakukan dengan menggunakan handhels digital ambient light meter.
Teknik perhitungan dilakukan dengan cara spot metering sehingga di dapatkan detail
tertentu secara maksimal.
c. Pengukuran
jumlah, jenis dan kerapatan vegetasi. Cara menghitung kerapatan vegetasi adalah
dengan menghitung jumlah pohon per satuan luas tanam. Jumlah vegetasi di
peroleh dengan menghitung semua vegetasi yang tumbuh di dalam areal hutan kota.
Jumlah jenis vegetasi dihitung berdasarkan jenis-jenis vegetasi yang menyusun
hutan kota tersebut.
d. Pengukuran kenyamanan
Lingkungan
nyaman yang dapat dirasakan manusia untuk memenuhi kebutuhan fisik ditentukan
oleh suhu dan kelembapan kota sekitarnya. Untuk menyatakan rasa nyaman secara
kuantitatif, The
US Weather National Service telah menetapkan rumusan indeks ketidaknyamanan
sebagai berikut :
IK = Indeks Ketidaknyamanan (Discomfort index); T = suhu dalam derajat Faranheit; RH = kelembapan
relatif.
Indeks
kenyamanan berkisar <70. Antara 70 – 80 cukup nyaman dan > 80 orang sudah merasa tidak nyaman.
Data Sekunder
Data
sekunder yang tekait dengan penelitian meliputi kondisi fisik wilayah,
prasarana dan sarana fisik wilayah, keadaan hutan kota malang, program
pemerintah terhadap lingkungan kota, dll. Data sekunder diperoleh melalui
kepustakaan, wawancara dengan pejabat terkait, dokumen-dokumen dari dinas
terkait seperti dinas Pertamanan Kota Malang, Dinas Tata Kota Kota Malang,
Bapeda Kota Malang, BMG , Samsat
Kota Malang, dan instansi terkait yang relevan dengan penelitian.
Waktu Pengukuran
Waktu pengukuran data variable
selama 24 jam (01.00-24.00) dengan pengukuran dilakukan setiap jam, selama 3
hari. Jumlah hari pengukuran di anggap sebagai ulangan.
Analisis data
Data
yang diperoleh dari hasil penelitian akan akan dianalisis dengan statistic
untuk melihat perbedaan antara setiap posisi pengukuran. Analisis juga dilakukan
untuk melihat hubungan antara setiap variable pengamatan (suhu, kelembapan,
intensitas matahari). Hasil analisis akan disajikan dalam bentuk disajikan dalam bentuk tabel, grafik dan gambar. Analisis data dilakukan
secara statistika.
Hubungan kualitas lingkungan
dengan bentuk hutan kota
1.
Tabulasi dan grafik
Hubugan
bentuk hutan kota, letak titik pengukuran, dan waktu pengukuran dengan suhu,
kelembapan, intensitas matahari dilihat dengan menggunakan statistik deskriptif
yaitu dengan grafik, tabulasi, rataan, dan persentase. Hasil pengukuran suhu,
kelembapan dan
intensitas matahari pada setiap bentuk hutan kota,
letak titik pengukuran, dan waktu ditabulasi dan dibuat grafik garis atau
histogram. Dari tabulasi diketahui rataan pengukuran setiap jam; setiap titik
pengukuran; setiap bentuk; selisih suhu, kelembapan, intensitas matahari, dan
kecepatan angin dari letak titik pengukuran di tepi hutan, di dalam, dan diluar
hutan kota. Dari tabulasi akan diperoleh angka rata-rata secara umum dari semua
hutan kota maupun pada setiap hutan kota. Sebagian data
disajikan dalam bentuk tabel dan sebagian dalam bentuk grafik sehingga secara
visual dapat segera diketahui. Untuk melihat apakah bentuk hutan kota
memberikan pengaruh berbeda di setiap posisi pengukuran, untuk setiap variable,
(suhu, kelembapan, intensitas matahari), maka
dilakukan uji T
dengan ANOVA (analisis
of variance).
Analisis korelasi
Analisis
korelasi dilakukan untuk melihat hubungan antar variabel iklim yang diamati
pada tiap posisi pengukuran di setiap hutan kota. Analisis ini akan menunjukan
seberapa besar pengaruh hutan kota terhadap perubahan iklim mikro pada setiap
posisi pengukuran iklim di sekitar hutan kota.
Peranan bentuk hutan kota
terhadap kualitas lingkungan.
Pemahaman
dan interpretasi dari koefisien model persamaan hasil analisis uji t dan
korelasi, baik secara parsial maupun multidimensi akan diketahui sejauh mana
bentuk dan struktur hutan kota dapat meningkatkan kualitas lingkungan.
Interpretasi tersebut juga dapat digunakan untuk melihat peranan bentuk hutan
kota terhadap kenyamanan yang dilihat dari faktor suhu dan kelembapan.
Analisis Kenyamanan
Untuk
menyatakan rasa nyaman secara kuantitatif, sani menggunakan rumus sebagai berikut :
IK = 0.7(TWB) + 0.2
(TG) + 0.1(TDB)
dimana : TWB = suhu
jika basah; TG = suhu termometer globe; TDB = suhu jika kering.
Indeks kenyamanan berkisar
antara 61 – 71. Jika nilai IK melebihi batas tadi, maka orang sudah mulai
merasa tidak nyaman.
HASIL DAN
PEMBAHASAN
Hubungan Kualitas Lingkungan
dengan Bentuk Hutan Kota
Suhu Udara
Pengukuran suhu selama 24
(dua puluh empat) jam di tiga lokasi hutan kota menunjukan penyebaran pola yang relatif
sama baik pengukuran yang dilakukan pada titik tengah, pinggir, maupun jauh
hutan kota .
Berdasarkan asumsi awal bahwa akan terjadi perbedaan suhu pada bagian tengah
hutan kota ,
pinggir hutan kota
maupun jauh hutan kota
terbukti menunjukan perbedaan tersebut pada saat pengukuran di lapangan.
Tabel 1.
Pengukuran suhu rata-rata di tiga bentuk
hutan kota pada
tiga titik pengukuran.
No
|
Bentuk
Hutan
|
Suhu dan beda pada posisi pengukuran
|
|||||
Pinggir (T1)
|
Tengah (T2)
|
Jauh
(T3)
|
Rata-rata
|
T2-T1
(%)
|
T2-T3 (%)
|
||
1
|
Jalan Jakarta
|
25,0
|
24,3
|
25,5
|
24,9
|
-3.24
|
-5.24
|
2
|
Malabar
|
24,7
|
24,4
|
25,3
|
24,8
|
-1.21
|
-3.64
|
3
|
Velodrome
|
24,6
|
23,7
|
25,0
|
24,4
|
-3.64
|
-5.26
|
|
Rata – rata
|
24,8
|
24,1
|
25,3
|
24,7
|
-2.83
|
-4.84
|
Ada perbedaan
suhu yang cukup besar di antara setiap posisi pengukuran di masing-masing
lokasi pengukuran. Suhu di tengah lebih rendah dibanding suhu
pinggir dan jauh hutan kota, dimana beda suhu antara titik pengukuran tengah
hutan kota (T2) dengan pinggir hutan kota (T1) di hutan kota jalan jakarta
adalah sebesar 3.24%, hutan kota malabar adalah 1.21% dan hutan kota velodrome
adalah sebesar 3.64% Perubahan suhu antara titik tengah dengan titik jauh hutan
kota di hutan kota jalan jakarta adalah 5.24%, hutan kota malabar sebesar 3.64%
dan hutan kota velodrome sebesar 5.26%.
Hasil analisis uji t menunjukan hutan kota memberikan efek menurunkan
suhu dibanding daerah yang tidak bervegetasi (jauh dari hutan kota). Perbedaan
nyata ditujukan pada hutan kota JB (p = 0.01*), hutan kota GB (p = 0.04*),
hutan kota SB (p = 0.02*).
Hutan kota ternyata sangat berpengaruh terhadap suhu udara.
Hutan Kota Jalan Jakarta
Suhu udara di tiga titik
pengukuran pada Hutan Kota Jalan Jakarta me-nunjukkan pola yang sama,
peningkatan suhu mulai terjadi terjadi pada pukul 09.00 – 14.00 dengan tingkat
suhu tertinggi pada pukul 13.00 kecuali di lokasi pengukuran pinggir hutan,
suhu tertinggi dicapai pada pukul 14.00 (29.00C ). Suhu tertinggi untuk tengah
hutan kota
mencapai 29,00C
dan lokasi jauh hutan kota
mencapai 34,50C.
Gambar 1. Sebaran suhu pada tiga lokasi pengukuran di Hutan kota Jalan Jakarta
Secara statistik, penurunan suhu udara di hutan kota jalan jakarta
menujukan perbedaan yang nyata berdasarkan uji t (0.05%). Perbedaan suhu antara
posisi tengah (T1) dan pinggir (T2) tidak menunjukan perbedaan nyata (p = 0.08ns)
namun tercatat mampu menurunkan suhu sebesar 0.750C. Perbedaan suhu
antara posisi T2 dengan T3 berbeda nyata (p=0.01*) dimana posisi T1 mampu
menurunkan suhu sebesar 1.280C.
Perbedaan suhu yang tidak nyata juga ditunjukan antara posisi pinggir
dan jauh hutan kota (p=0.329ns), dengan mean diference sebesar 0.520C.
Hutan Kota di Jalan Malabar
suhu
di hutan kota malabar menunjukan grafik peningkatan pada siang hari dan semakin
menurun pada sore hari (Gambar 2).
Gambar 2. Grafik perubahan suhu menurut perubahan
waktu di tiap posisi pengukuran di hutan kota malabar.
Perbedaan suhu di tiap titik pengukuran suhu hutan kota, dimana suhu
pada posisi tengah menunjukan nilai paling rendah yaitu 24,40C dibanding
suhu pada pingir sebesar 24,70C
dan suhu jauh sebesar 25,30C. Hal ini menunjukan bahwa hutan kota
mampu menurunkan suhu sebesar 1.21% di daerah pinggir hutan dan 3.63% di daerah
jauh dari hutan kota.
Hasil uji t memperlihatkan bahwa,
penurunan suhu udara di hutan kota malabar menujukan tidak adanya
perbedaan yang nyata berdasarkan uji t (0.05%) antara posisi T1 dan T2 (p=0.43ns),
serta posisi T1 dan T3 (p=0.21ns). Sedangkan posisi T2 dibandingkan
dengan posisi T3 menunjukan perbedaan yang signifikan (p=0.04*). Penurunan suhu
pada posisi tengah hutan kota adalah sebesar 0.340C dibanding
suhu posisi pingir dan 0.960C
dari suhu pada posisi jauh dari hutan kota.
Hutan Kota Velodrome
Suhu di tiga titik pengukuran
pada hutan kota velodrome menunjukan pola yang sama, dimana peningkatan suhu
mulai terjadi terjadi pada pukul 06.00 – 13.00 dan mulai menurun hingga pukul 17.00.
Tingkat suhu tertinggi pada pukul 13.00 kecuali di lokasi pengukuran pinggir
hutan, suhu tertinggi dicapai pada pukul 16.00. Suhu tertinggi di pinggir hutan
kota mencapai 30,60C, untuk
tengah hutan kota mencapai 30,00C
dan lokasi jauh hutan kota mencapai 33,00C.
Gambar 3. Grafik perubahan suhu menurut perubahan
waktu di tiap posisi pengukuran di hutan kota velodrome.
Perubahan penurunan suhu pada posisi tengah hutan kota adalah sebesar 0.90C (3.64%)
dibanding suhu posisi pingir dan 1.30C
(5.26%) dari suhu pada posisi jauh dari hutan kota. Hasil uji t memperlihatkan bahwa, penurunan
suhu udara di hutan kota velodrome menujukan tidak adanya perbedaan yang nyata
berdasarkan uji t (0.05%) antara posisi T1 dan T2 (p=0.08ns), serta
posisi T1 dan T3 (p=0.57ns). Namun menunjukan perbedaan yang
signifikan antara posisi T2 dibandingkan dengan posisi T3 (p=0.02*).
Kelembapan Udara
Hasil pengkuran kelembapan pada umumnya menunjukan penurunan yang terjadi mulai pukul 06.00 hingga pukul 13.00
dan berangsur-angsur naik. Perubahan kelembapan mengikuti trend perubahan suhu,
dimana jika suhu menurun maka kelembapan akan meningkat dan sebaliknya. Dalam
penelitian ini, yang diukur adalah kelembapan relatif, yaitu tekanan uap aktual
dibandingkan dengan tekanan uap jenuh pada temperatur yang sama (Monteith dan
Usworth, 1990).
Kemampuan hutan kota dalam meningkatkan kelembapan pada posisi T1 rata-rata
sebesar 4.7% dan posisi T3 sebesar 9.7%. Hasil analisis uji t menunjukan hutan kota memberikan
efek meningkatkan kelembapan dibanding daerah yang tidak bervegetasi (jauh dari
hutan kota). Perbedaan nyata ditujukan pada hutan kota JB (p = 0.01*), dan
hutan kota SB (p=0.02*) dan perbedaan yang sangat nyata pada hutan kota GB.
Tabel 2. Hasil
Pengukuran rata-rata kelembapan dan beda di masing-masing hutan kota pada tiga
titik pengukuran.
No
|
Hutan Kota
|
Rata-rata
Kelembapan dan Beda pada titik pengukuran (%)
|
|||||
Tepi
(T1)
|
Dalam
(T2)
|
Luar
(T3)
|
Rata-rata
|
T2-T1
(%)
|
T2-T3
(%)
|
||
1
|
Jalan
Jakarta (JB)
|
79,4
|
83,4
|
75,5
|
79,5
|
5.03
|
9.93
|
2
|
Malabar
(GB)
|
76,8
|
82,7
|
71,9
|
77,1
|
7.42
|
13.58
|
3
|
Velodrome
(SB)
|
82,7
|
83,9
|
79,4
|
82,0
|
1.51
|
5.66
|
Rata-rata
|
79.6
|
8.33
|
75.6
|
79.5
|
4.7
|
9.7
|
Hutan Kota Jalan Jakarta
Kelembapan di hutan kota jalan jakarta menunjukan penurunan rata-rata
mulai pukul 06.00 hingga pukul 13.00 dimana pada saat tersebut terjadi
peningkatan suhu pada wilayah yang sama dan semakin meningkat menjelang sore
dan relatif stabil hingga pagi hari. Perubahan
kelembapan pada posisi pengukuran T1 dan T3 dibanding T2 sangat besar. Hutan kota dapat menaikan kelembapan hingga 5.03% dari posisi T1 dan 9.93%
posisi T3. Hal ini jelas menunjukan bahwa tingkat kelembapan pada
bagian tengah hutan kota lebih tinggi dibandingkan kelembapan pada pinggir
hutan kota dan jauh hutan kota. Hal tersebut dimungkinkan karena tingkat
kerapatan vegetasi di titik T2 sangat mempengaruhi baik kelembapan maupun suhu.
Hal ini jelas menunjukan adanya faktor vegetasi yang memegang peranan penting
dalam perubahan iklim mikro.
Hasil uji-t menunjukan bahwa, peningkatan kelembapan di hutan kota jalan
jakarta menunjukan perbedaan yang sangat nyata antara posisi T2 dibandingkan
dengan posisi T3 (p=0.009**). Namun demikian, tidak adanya perbedaan yang nyata
berdasarkan uji t (0.05%) antara posisi T1 dan T2 (p=0.12ns), serta
posisi T1 dan T3 (p=0.19ns).
Hutan Kota Malabar
Kelembapan di hutan kota Malabar menunjukan penurunan rata-rata mulai
pukul 06.00 hingga pukul 13.00 dimana pada saat tersebut terjadi peningkatan
suhu pada wilayah yang sama dan kemudian menaik hingga pukul 19.00 dan
selanjutnya relatif stabil hingga pukul 06.00 (gambar 12 dan lampiran 7). Hasil pengukuran beda kelembapan di hutan
kota Malabar seperti ditunjukan pada tabel 5 terlihat jelas perubahan
kelembapan pada titik pengukuran T1 dan T3 dibanding T2 sangat besar. Hutan
kota jelas dapat meningkatkan kelembapan sebesar 7,42% dari titik pengukuran
pinggir (T1) dan 13,58% di titik pengukuran jauh (T3).
Uji t pada skala kepercayaan 5% (lampiran 10.B) menunjukan adanya perbedaan
yang nyata dan sangat nyata pada setiap posisi penguruan kelembapan. Pada tabel
6 terlihat bahwa, peningkatan kelembapan di hutan kota malabar menunjukan
perbedaan yang sangat nyata antara posisi T2 dibanding posisi T1 (p=0.00**) dan
posisi T2 dibandingkan dengan T3 (p=0.00**), serta perbedaan nyata ditunjukan
pada posisi T1 banding T3 (p=0.01*).
Hutan Kota Velodrome
Penurunan kelembapan di hutan kota velodrome terjadi mulai pukul 06.00
hingga pukul 12.00 dimana pada saat tersebut terjadi peningkatan suhu pada
wilayah yang sama. Selanjutnya kelembapan berangsur-angsur menaik hingga pukul
19.00 dan relatif stabil hingga pukul 06.00. Hasil
pengukuran kelembapan di hutan kota Malabar seperti terlihat pada tabel 8 jelas
menunjukan perubahan kelembapan pada titik pengukuran T1 dan T3 dibanding T2
sangat besar. Perubahan kelembapan pada titik pengukuran pinggir (T1) dan titik
pengukuran jauh (T3) di banding titik pengukuran tengah (T2) adalah sebesar
1.51% (T1) dan 5,66% (T3).
Hasil analisis uji t (tabel 6) terlihat bahwa, peningkatan kelembapan di
hutan kota velodrome menunjukan
perbedaan yang nyata antara posisi T2 dibanding posisi T3 (p=0.02*). Akan
tetapi tidak terjadi perbedaan yang nyata antara posisi T2 dibanding T1 (p=0.23ns),
serta posisi T1 banding T3 (p=0.19ns).
Intensitas Radiasi Matahari
Pengukuran intensitas matahari dilakukan selama 12 (dua belas) jam di
tiga lokasi hutan kota menunjukan penyebaran pola yang relatif sama baik
pengukuran yang dilakukan pada titik tengah, pinggir, maupun jauh hutan kota.
Berdasarkan asumsi awal bahwa akan terjadi perbedaan intensitas cahaya matahari
pada bagian tengah hutan kota, pinggir hutan kota maupun jauh hutan kota
terbukti menunjukan perbedaan tersebut. Hasil analisis uji t menunjukan
terdapat perbedaan yang nyata dan sangat nyata seperti ditunjukan pada tabel 7
di bawah ini.
Hasil analisis uji t (tabel 7) terlihat bahwa, penurunan intensitas
cahaya matahari di hutan kota menunjukan perbedaan yang nyata dan sangat nyata
antara hutan kota dan daerah disekitar hutan kota.
Hasil pengukuran rata-rata intensitas menunjukan posisi tengah hutan
kota (T2) lebih rendah dibandingkan posisi pinggir (T1) dan jauh (T3).
Tabel 3. Uji t variabel intensitas matahari
masing-masing posisi pengukuran di hutan kota Malang.
Hutan Kota
|
Interaksi
|
p (0.05%)
|
Mean Diference
|
Jalan Jakarta (JB)
|
Tengah x Pinggir
|
0.04*
|
-111.21
|
Tengah x Jauh
|
0.007**
|
-213.11
|
|
Pinggir x Jauh
|
0.20
|
-101.90
|
|
Malabar (GB)
|
Tengah x Pinggir
|
0.003**
|
-209.20
|
Tengah x Jauh
|
0.00**
|
-300.02
|
|
Pinggir x Jauh
|
0.28
|
-90.82
|
|
Velodrome (SB)
|
Tengah x Pinggir
|
0.002**
|
-51.46
|
Tengah x Jauh
|
0.004**
|
-132.73
|
|
Pinggir x Jauh
|
0.06
|
-81.28
|
* * terdapat perbedaan yang sangat nyata pada skala kepercayaan 95%
* terdapat perbedaan yang nyata pada skala
kepercaya 95%
Tabel 4. Rata-rata pengukuran intensitas matahari di hutan kota malang.
Intensitas cahaya matahari
|
|||
T1
|
T2
|
T3
|
|
Jalan Jakarta
|
265,4
|
78,5
|
215,9
|
Malabar
|
223,8
|
14,6
|
398,0
|
Velodrome
|
82,7
|
31,2
|
164,0
|
Rerata
|
190.6
|
41.43
|
259.3
|
Hutan Kota Malabar
Hasil pengukuran intensitas cahaya matahari pada umumnya dari pukul
07.00 sampai 14.00 menaik karena puncak penyinaran matahari berada pada
waktu-waktu tersebut, dan pada pukul 15.00 sampai dengan 17.00 menurun karena
rotasi bumi yang mengelilingi matahari menyebabkan penyinaran cahaya matahari
yang mulai berkurang. Intensitas cahaya matahari tertinggi dicapai pada
pukul 14.00 dititik pengukuran T1 (487,0), pukul 11.00 pada T2 (43,00) dan
pukul 14.00 pada titik T3 (599,0). Sedangkan pengukuran intensitas cahaya
matahari terendah pada pukul 07.00 di titik T1 (12,3), pukul 17.00 di titik T2
(1,0) dan 07.00 di titik T3 (28,3). Pada tabel menunjukan bahwa intensitas
cahaya matahari pada tengah hutan (T2) lebih rendah dibanding T1 dan T3. Hal
tersebut dikarenakan terhalangnya cahaya matahari akibat keberadaan vegetasi
yang lebih banyak di titik tengah hutan kota dibanding pinggir dan jauh hutan
kota.
Hasil analisis uji t untuk melihat perbedaan intensitas cahaya matahari
terhadap posisi pengukuran menunjukan adanya perbedaan yang sangat nyata antara
posisi T2 dengan posisi T1 dan posisi T3 (tabel 7). Nilai p antara posisi T2
dibanding posisi T1 adalah 0.003**, dan T2 dibanding T3 adalah 0.000**. Akan
tetapi tidak terjadi perbedaan yang nyata antara posisi T1 dibanding T3
(p=0.283ns).
Hutan Kota Jalan Jakarta
Hasil
pengukuran intensitas cahaya matahari pada umumnya dari pukul 07.00 sampai
15.00 menaik karena puncak penyinaran matahari berada pada waktu-waktu
tersebut, dan pada pukul 15.00 sampai dengan 17.00 menurun karena rotasi bumi
yang mengelilingi matahari menyebabkan penyinaran cahaya matahari yang mulai
berkurang. Intensitas cahaya matahari tertinggi dicapai pada pukul 12.00
dititik pengukuran T1 (671,3), pukul 10.00 pada T2 (182,0) dan pukul 14.00 pada
titik T3 (507,0). Sedangkan intensitas cahaya matahari terendah terjadi pada
pukul 17.00 di titik T1 (26,0), pukul 06.00 di titik T2 (1,0) dan 07.00 di
titik T3 (33,3). Pada tabel menunjukan bahwa intensitas cahaya matahari pada
tengah hutan (T2) lebih rendah(78,5) dibanding T3 (215,9) dan T1 (265,4).
Hasil analisis uji t untuk melihat perbedaan intensitas cahaya matahari
terhadap posisi pengukuran menunjukan adanya perbedaan yang sangat nyata antara
posisi T2 dengan posisi T3 dan berbeda nyata dengan posisi T1 (tabel 7). Nilai
p antara posisi T2 dibanding posisi T1 adalah 0.04*, dan T2 dibanding T3 adalah
0.007**. Akan tetapi tidak terjadi perbedaan yang nyata antara posisi T1
dibanding T3 (p=0.204ns).
Hutan Kota Velodrome
Hasil
pengukuran intensitas cahaya matahari di hutan kota velodrome pada umumnya
menaik dari pukul 06.00 sampai 13.00 karena puncak penyinaran matahari berada
pada waktu-waktu tersebut, dan menurun pada pukul 14.00 sampai dengan 17.00.
hal ini lebih disebabkan karena rotasi bumi yang mengelilingi matahari
menyebabkan penyinaran cahaya matahari yang mulai berkurang. Intensitas cahaya
matahari tertinggi dicapai pada pukul 10.00 dititik pengukuran T1 (133,3),
pukul 12.00 pada T2 (53,0) dan pukul 12.00 pada titik T3 (385,3). Sedangkan pengukuran
intensitas cahaya matahari terendah terjadi pada pukul 06.00 di titik T1 (9,0),
pukul 17.00 di titik T2 (7,0) dan 06.00 di titik T3 (10,3). Pada tabel
menunjukan bahwa rata-rata intensitas cahaya matahari pada tengah hutan (T2)
lebih rendah (31,2) dibanding pinggir hutan (T1) sebesar 82,7 dan jauh hutan
(T3) sebesar 164,0. Hal tersebut dikarenakan terhalangnya cahaya matahari
akibat keberadaan vegetasi yang lebih banyak di titik tengah hutan kota
dibanding pinggir dan jauh hutan kota.
Hasil analisis uji t untuk melihat perbedaan intensitas cahaya matahari
terhadap posisi pengukuran menunjukan adanya perbedaan yang sangat nyata antara
posisi T2 dengan posisi T1 dan posisi T3 (tabel 7). Nilai p antara posisi T2
dibanding posisi T1 adalah 0.002**, dan T2 dibanding T3 adalah 0.004**. Akan
tetapi tidak terjadi perbedaan yang nyata antara posisi T1 dibanding T3 (p=0.06ns).
Hubungan korelasi antar
variabel
Hutan kota jalan jakarta (JB)
Hasil uji korelasi menunjukan adanya hubungan bernilai linier negatif
antara variabel suhu dan kelembapan, namun tidak ada hubungan korelasi antar
semua variabel terhadap intensitas matahari di posisi pinggir hutan (T1). Uji
korelasi di posisi pengukuran T1 hutan kota jalan jakarta antar variabel suhu
dan kelembapan memiliki korelasi sempurna dengan bentuk hubungan linier negatif
(r=95.5%). Hal ini mengindikasikan stiap adanya kenaikan suhu
maka di ikuti dengan kelembapan yang menurun. Sedangkan untuk variabel
intensitas matahari tidak menunjukan adanya hubungan korelasi dengan variabel
suhu udara (r=13.6%) dan variabel kelembapan (r=6.0%).
Hubungan yang sama juga ditunjukan pada posisi tengah hutan kota (T2),
dimana terlihat variabel suhu udara dan
kelembapan memiliki hubungan korelasi bernilai linier negatif (r=94.4%). Sedangkan
untuk variabel intensitas tidak memiliki hubungan korelasi dengan variabel suhu
namun memiliki hubungan korelasi nyata (linier positif) dengan kelembapan
(r=70.6%).
Hubungan
korelasi di posisi jauh dari hutan kota (T3) menunjukan hubungan suhu dan
kelembapan bernilai linier negatif dengan tingkat signifikansi yang sangat
nyata (r=97.2%). Korelasi antar variabel
suhu dan intensitas matahari tidak memiliki hubungan yang nyata dengan r=12.2%,
sedangkan hubungan antara kelembapan dan intensitas matahari pun pun tidak
memiliki hubungan nyata (r=17.5%).
Hutan Kota Malabar
(GB)
Hasil uji korelasi menunjukan adanya hubungan bernilai linier negatif
antara variabel suhu dan kelembapan, namun tidak ada hubungan korelasi antar
semua variabel terhadap intensitas matahari di posisi pinggir hutan (T1). Uji
korelasi di posisi pengukuran T1 hutan kota malabar antar variabel suhu dan
kelembapan memiliki korelasi sempurna dengan bentuk hubungan linier negatif
(r=99.1%). Hal ini mengindikasikan setiap adanya kenaikan suhu
maka di ikuti dengan kelembapan yang menurun. Sedangkan untuk variabel
intensitas matahari tidak menunjukan adanya hubungan korelasi denngan variabel
suhu udara (r=12.2%) dan variabel kelembapan (r=17.5%).
Hubungan yang sama juga ditunjukan pada posisi tengah hutan kota (T2),
dimana terlihat variabel suhu udara dan
kelembapan memiliki hubungan korelasi bernilai linier negatif (r=77.1%).
Sedangkan untuk variabel kelembapan dengan intensitas matahari memiliki hubungan
korelasi linier positif dengan r = 62.1%. hubungan antara suhu dengan
intensitas matahari tidak memiliki hubungan nyata dengan r = 41.4%.
Posisi jauh hutan kota (T3), memperlihatkan hubungan yang erat antara
suhu udara dan kelembapan dengan nilai korelasi linier negetaif (r=96.1%),
namun tidak memiliki hubungan korelasi linier antara suhu dan intensitas cahaya
matahari (r=7.7%) dan antara kelembapan dengan intensitas cahaya matahari
(r=5.8%).
Hutan kota velodrome (SB)
Hasil uji korelasi menunjukan adanya hubungan bernilai linier negatif antara
variabel suhu dan kelembapan, namun tidak ada hubungan korelasi antar semua
variabel terhadap intensitas matahari di posisi pinggir hutan (T1).
Uji
korelasi di posisi pengukuran T1 hutan kota velodrome antar variabel suhu dan
kelembapan memiliki korelasi sempurna dengan bentuk hubungan linier negatif
(r=93.1%). Hal ini mengindikasikan setiap adanya kenaikan suhu maka di ikuti
dengan kelembapan yang menurun. Sedangkan untuk variabel intensitas matahari
tidak menunjukan adanya hubungan korelasi dengan variabel suhu udara (r=23.3%)
dan variabel kelembapan (r=19.2%).
Hubungan yang sama juga ditunjukan pada posisi tengah hutan kota (T2),
dimana terlihat variabel suhu udara dan
kelembapan memiliki hubungan korelasi bernilai linier negatif (r=96.3%). Hubungan
suhu dengan intensitas matahari juga bernilai negatif dan tidak memiliki
hubungan korelasi (r=49.2%). Sedangkan untuk variabel kelembapan dengan
intensitas matahari memiliki hubungan korelasi linier positif dengan r = 27.5%.
Posisi jauh hutan kota (T3), memperlihatkan hubungan yang erat antara
suhu udara dan kelembapan dengan nilai korelasi linier negatif (r=95.2%). Tidak
terdapat hubungan korelasi antara suhu dengan intensitas matahari di posisi T3
(r=49.2) serta antara variabel kelembapan dan intensitas matahari (r=47.6%).
Pengaruh Bentuk Hutan Kota
Terhadap Kualitas Lingkungan dan Kenyamanan
Pengelompokan Hutan Kota di
Kota Malang
Hutan kota yang terdapat di Malang secara umum memiliki 3 (tiga) bentuk
dan satu struktur seperti tertera pada
tabel 17 di bawah ini.
Tabel 5. Bentuk dan Struktur Hutan Kota di Kota Malang
No
|
Hutan Kota
|
Bentuk
|
Struktur
|
1
|
Jalan
Jakarta
|
Menjalur
|
Strata
Banyak
|
2
|
Malabar
|
Bergerombol
|
Strata
Banyak
|
3
|
Velodrome
|
Menyebar
|
Strata
Banyak
|
4
|
Pandanwangi
|
Bergerombol
|
Strata
Banyak
|
5
|
Hamid
Rusdi
|
Menyebar
|
Strata
Banyak
|
6
|
Indragiri
|
Menjalur
|
Strata
Banyak
|
7
|
Kediri
|
Bergerombol
|
Strata
Banyak
|
Hutan kota bentuk bergerombol adalah hutan kota dengan komunitas
vegetasinya tumbuh terkosentrasi pada suatu tempat dengan jumlah minimal pohon
100 dengan jarak kurang dari 8
meter atau rapat tidak beraturan. Hutan kota berbentuk menyebar adalah hutan kota dengan vegetasi yang
tumbuh menyebar berkelompok maupun terpisah pada areal hutan kota . Sedangkan hutan kota berbentuk menjalur adalah hutan kota dimana vegetasinya
tumbuh menjalur di sepanjang hutan kota .
Dari hasil pengamatan
langsung di lapangan terlihat bahwa hutan kota
malabar, pandanwangi dan kediri
adalah hutan kota
dengan bentuk bergerombol starata banyak; hutan kota velodrome dan hamid rusdi adalah hutan kota dengan bentuk
menyebar strata banyak; hutan kota
jalan Jakarta
dan Indragiri adalah hutan kota
berbentuk menjalur strata banyak. Penataan hutan kota lebih mengutamakan estetika dibandingkan
fungsi hidrologis dan iklim
Vegetasi di hutan Kota
Vegetasi sangat bermanfaat
untuk merekayasa lingkungan di perkotaan. Selain merekayasa estetika,
mengontrol erosi dan air tanah, mengurangi kebisingan, mengendalikan air
limbah, mengontrol lalulintas dan cahaya yang menyilaukan, mengurangi pantulan
cahaya, serta mengurangi bau. Hal tersebut dikarenakan keberadaan bagian-bagian
tumbuhan seperti daun batang dan akar yang sangat bermanfaat dalam
mengendalikan berbagai ketidaknyamanan lingkungan akibat aktifitas manusia.
Daun dengan bulu-bulu serta stomata mampu memberikan kesejukan dan mengurangi
debu melalui proses transpirasi serta penahan partikel di udara. Batang dan daun mampu meredam bunyi. Bunga dapat memberikan nilai estetika.
Akar tumbuhan dapat menahan laju erosi dan menyediakan cadangan air dalam
tanah.
Tabel
6. Jumlah Vegetasi dan Luas hutan kota di wilayah Kota Malang
No
|
Nama
|
Jumlah vegetasi
|
Luas hutan kota (m2)
|
1
|
Jalan
Jakarta
|
1.546
|
11.895
|
2
|
Malabar
|
1.048
|
16.718
|
3
|
Velodrome
|
2.083
|
12.500
|
4
|
Pandanwangi
|
93
|
1.400
|
5
|
Hamid
Rusdi
|
949
|
18.000
|
6
|
Indragiri
|
118
|
2.500
|
7
|
Kediri
|
355
|
5.479
|
|
Jumlah
|
|
68.492
|
Tabel 7. Tingkat kerapatan vegetasi beberapa Hutan
Kota di Malang.
No
|
Nama
|
Kerapatan (m2)
|
1
|
Jalan Jakarta
|
7,69
|
2
|
Malabar
|
15,95
|
3
|
Velodrome
|
6,00
|
4
|
Pandanwangi
|
15,05
|
5
|
Hamid Rusdi
|
14,97
|
6
|
Indragiri
|
11,19
|
7
|
Kediri
|
15,43
|
|
Jumlah
|
|
Keberadaan hutan kota di Kota Malang juga didominasi berbagai vegetasi.
Keberadaan mereka yang menyerupai hutan alam diharapkan dapat memberikan
manfaat selayaknya bagi kenyamanan mahluk hidup lain di sekitarnya. Jumlah
vegetasi pohon yang terdapat di hutan kota malang ditunjukan pada Tabel 6. Jumlah vegetasi di setiap hutan kota berbeda
berdasarkan luas pemanfaatan ruang untuk hutan kota yang disediakan. Luas hutan
kota yang terdapat di kota Malang disajikan pada Tabel 6. Berdasarkan data yang
dihimpun, tingkat kerapatan vegetasi pada tiap hutan kota di Malang adalah
seperti terdapat pada Tabel 7.
Kualitas lingkungan di
sekitar hutan kota.
Perbedaan suhu di tiap posisi hutan kota, menunjukan suhu paling rendah
di posisi tengah hutan kota yaitu 23,70C pingir hutan kota 24,60C dan suhu
jauh hutan kota 25,00C. Hutan kota ternyata mampu menurunkan
rata-rata suhu pinggir sebesar 2.83% dan suhu jauh hutan sebesar 4.84%. Hal ini
menunjukan adanya sejumlah vegetasi di hutan kota mampu mengaleomerasi suhu
menjadi rendah. Bentuk hutan kota ternyata memegang peranan penting dalam
menurunkan suhu. Hal ini terbukti dari kemapuan hutan kota velodrome yang menyebar berkelompok (SB) mampu
menurunkan suhu hingga 5.26% dibandingkan daerah yang tidak bervegetasi. Hutan
kota dengan bentuk bergerombol strata banyak (GB) hanya mampu menurunkan suhu
sebesar 3.64% dan hutan kota bentuk menjalur (JB) mampu menurunkan suhu sebesar
5.24% dibanding daerah yang tidak bervegetasi.
Hasil uji t menunjukan adanya perbedaan suhu yang nyata antara posisi
dalam hutan kota dan luar jauh hutan kota. Hal ini mengindikasikan begitu besar
efek keberadaan vegetasi dalam menurunkan suhu. Tanaman dalam kehidupannya pada
siang hari melepaskan O2 dan menyerap CO2 dalam proses fotosintesinya. Sebatang
pohon dapat menyumbangkan O2 di udara sebanyak 1.2 kg setiap harinya.
Bentuk hutan kota menyebar memberikan kesempatan lebih banyak pohon untuk
tumbuh dan berkembang. Semakin banyak pohon yang tumbuh di areal hutan kota
maka kesejukan akibat ketersediaan oksigen yang melimpah di wilayah tersebut
akan lebih baik dibandingkan daerah yang sedikit atau tanpa vegetasi
pohon. Bentuk hutan kota SB (velodrome)
lebih baik dalam mengameliorase iklim dibandingkan hutan kota bentuk GB
(malabar) dan JB (jakarta). Hal ini dimungkinkan karena bentuk hutan kota SB
memiliki vegetasi yang menyebar sehingga memungkinkan efek penurunan suhu yang
menyebar pada lingkungan sekitar. Zoeraini. D.I (2004) menyampaikan hal yang
sama bahwa, hutan kota dengan bentuk menyebar dan memiliki strata banyak akan
lebih efektif memberikan efek bagi lingkungan sekitarnya dibandingkan bentuk
bergerombol dan menjalur. Hutan kota juga sangat membantu menurunkan suhu
sekitarnya sebesar 3,46% di siang hari pada permulaan musim hujan. Bentuk hutan
kota yang menyebar strata banyak di hutan kota velodrome memungkinkan peranan
vegetasi untuk menurunkan suhu sekitar sangat efektif dibanding hutan kota
malabar dan jalan jakarta. Hal tersebut disebabkan keberadaan vegetasi yang
menyebar sehingga memberikan efek terhadap lingkungan dengan lebih merata dan
tersebar. Berbeda dengan bentuk hutan kota yang bergerombol, pengaruhnya
terhadap lingkungan lebih cenderung pada sisi-sisi yang dekat dengan hutan
kota.
Luasan areal yang diperuntukan bagi hutan kota juga sangat mempenagruhi
terciptanya kualitas lingkungan. Pertumbuhan vegetasi di hutan kota bentuk
menjalur jalan jakarta yang menjalur sangat memungkinkan tipis bahkan tidak
adanya perubahan yang nyata antara suhu pinggir, tengah dan jauh hutan kota. Ketersediaan lahan bagi hutan kota bentuk menjalur relatif sangat terbatas.
Hal ini dikarenakan keberadaan bentuk hutan kota ini kebanyakan berada pada
tengah jalan raya yang berfungsi ganda sebagai boulevard jalan. Peruntukan
lahan yang sempit/terbatas sangat mempengaruhi keberadaan jumlah vegetasi di
hutan kota tersebut. Keterbatasan vegetasi di suatu areal secara langsung akan
mempengaruhi suhu pada wilayah tersebut, Dahlan (2005).
Keberadaan vegetasi yang melimpah dalam hutan kota membantu terciptanya
suhu lingkungan yang lebih baik akibat adanya proses evaporasi dan transpirasi
yang dilakukan oleh vegetasi dalam hutan kota. Kondisi ini dapat memberikan
efek yang baik bagi kondisi lingkungan sekitarnya baik dalam menjamin sistim
hidrologi maupun bagi kesehatan udara di lingkungan sekitar.
Hasil uji korelasi menunjukan adanya keeratan hubungan yang nyata dengan
grafik linier positif antara tiap posisi pengukuran suhu (lampiran 13). Hal ini
menunjukan perubahan suhu di tengah hutan kota memberikan efek juga pada
perubahan suhu di posisi pinggir dan jauh. Keberadaan vegetasi dalam menurunkan
suhu memberikan efek pada penurunan suhu di lingkungan sekitar. Keberadaan
vegetasi dalam jumlah banyak sebaiknya ditempatkan pada daerah-daerah dengan
iklim yang panas atau di daerah dengan tingkat kepadatan lalulintas yang tinggi
agar dapat menurunkan suhu kingkungan sekitar.
Perubahan suhu di sekitar hutan kota berkorelasi linier negatif dengan
tingkat kelembapan relatif (RH), dimana jika terjadi penurunan suhu, maka
kelembapan yang terjadi disekitar hutan kota akan menaik, dan begitu pula
sebaliknya. Hutan kota mampu
mempengaruhi tingkat kelembapan rata-rata 9.7% dibanding daerah tidak
bervegetasi, dan mampu menurunkan kelembapan hingga 4.7% di daerah pinggir
hutan kota.
Kelembapan relatif secara statitik di setiap hutan kota menunjukan
perbedaan yang nyata dan sangat nyata berdasarkan uji t pada setiap posisi
pengukuran (T1, T2, T3). Bentuk hutan kota GB (malabar) mampu memberikan
perbedaan yang sangat nyata antara posisi tengah hutan (T2) dibanding posisi
jauh dari hutan (T3) dengan nilai p=0.000**. Hutan kota JB (jakarta) juga
memberikan efek yang sangat nyata berbeda tingkat kelembapan antara hutan kota
(T2) dengan daerah yang tidak bervegetasi (T3) dengan nilai p=0.009**. Hutan
kota velodrome (SB) memberikan perbedaan yang nyata antara posisi T2 dengan T3
(p=0.02) hal ini menunjukan bahwa hutan kota dengan adanya beragam vegetasi
yang tumbuh dan berkembang di situ akan memberikan peningkatan kelembapan yang
lebih baik dibandingkan daerah tanpa adanya vegetasi. Kelembapan yang semakin
meningkat memberikan efek bagi penurunan suhu menjadi lebih sejuk. Selain itu
kelembapan yang tinggi memberikan efek kesehatan terutama dalam menekan
perkembangan mikroorganisme yang merugikan disekitar wilayah tersebut (Amsyari
Fuad, 1996). Secara tabulasi, kelembapan terbaik ditunjukan oleh hutan kota
berbentuk menyebar (SB) pada posisi tengah hutan kota (83.929). Hal tersebut
dimungkinkan karena kondisi areal yang ditumbuhi banyak tanaman sangat efektif
dalam meningkatkan kelembapan karena tidak lepas dari adanya proses
evapotranspirasi dan respirasi yang terjadi pada permukaan yang bervegetasi.
Intensitas matahari tidak berkorelasi positif dengan suhu dan
kelembapan. Hal ini menunjukan bahwa faktor cahaya matahari sangat kecil
pengaruhnya pada kondisi iklim hutan kota dan keberadaan vegetasi memungkinkan
terciptanya iklim mikro disekitar hutan kota. Hasil uji t menunjukan adanya
perbedaan yang sangat nyata antara intensitas matahari di posisi tengah hutan
kota (T2) dengan posisi T1 dan T2. Intensitas matahari di hutan kota JB
menunjukan perbedaan yang sangat nyata antara posisi T2 dengan T3 (p=0.007**)
dan berbeda nyata pada posisi T1 (p=0.04*). Hutan kota GB juga menunjukan
perbedaan yang sangat nyata antara posisi T2 dengan T1 (p=0.003**) dan T3
(p=0.00**). Uji t pada hutan kota SB menunjukan perbedaan yang sangat nyata di
posisi T2 dengan T1 (p=0.002**), dan posisi T2 dengan posisi T3 (p=0.004**).
Terkosentrasinya vegetasi dalam hutan kota memberikan efek naungan
terhadap intensitas matahari secara langsung menjadi lebih baik. Penapisan yang
baik menyebabkan tidak terjadi peningkatan suhu akibat penyinaran langsung dari
matahari pada daerah hutan kota. Hasil pengamatan di hutan kota menunjukan
bahwa hutan kota dengan bentuk bergerombol dan menyebar menunjukan pengaruh
terbaik dalam mereduksi cahaya matahari ke permukaan tanah. Hal ini tak lepas
dari adanya keberadaan vegetasi yang menaungi areal sekitarnya dan menciptakan
iklim mikro yang mampu menjaga kestabilan pemanasan di sekitar areal hutan
kota.
Penilaian
kenyamanan di hutan kota pada penelitian ini menggunakan data suhu. Indeks kenyamanan yang dihitung berdasarkan perhitungan yang dikeluarkan
oleh Sani, (1986), dengan rumus : IK = 0.7(TB) + 0.2(TG) + 0.1(TK). Penilaian
ketidaknyamanan di hutan kota diperoleh bahwa bentuk maupun posisi hutan kota
di Kota Malang saat ini masih berada dalam kisaran cukup nyaman dengan nilai IK
berkisar antara 71,7 – 74.7. indeks kenyamanan berada pada kisaran nilai 61 –
71. Diatas 71 orang sudah merasa kurang nyaman. Jika merunut pada ketetapan di
atas maka hutan kota di malang belum dapat mewujudkan rasa nyaman bagi
masyarakat yang melakukan aktifitas di daerah sekitar lingkungan hutan kota.
Akan tetapi sebagian besar masyarakat yang beraktifitas di daerah tersebut
menyatakan bahwa mereka sudah merasa nyaman dengan iklim mikro di sekitar
lingkungan hutan kota. Zona rasa nyaman seseorang memang sangat bervariasi
tergantung pada kesenangan seseorang, karakteristik fisik, psikologi, dan
aktifitas seseorang. Selain itu, usia dan kebudayaan juga sangat mempengaruhi
(Robinete,1983 dalam Zoeraini D.I, 2004). Hal ini di duga juga mempengaruhi
masyarakat dalam menyatakan rasa nyaman di daerah hutan kota.
Masalah perkotaan di Indonesia
akibat ketimpangan tingkat penyediaan pelayanan kota , yang tidak seiring dengan pertumbuhan
penduduk. Perencanaan kota
sebagai bagian dari pemecahan masalah perkotaan perlu dikaitkan dengan
pemahaman penduduk, termasuk jumlah pertumbuhannya. Pengambilan model kota dunia Barat
merupakan salah satu faktor yang berpengaruh dalam masalah perkotaan berkaitan
dengan perencanaan kota
di Indonesia
dengan penduduknya yang memiliki tingkat kemampuan berbeda.
Artikulasi ruang yang
terbangun itu menjadi bermakna hanya apabila dikaitkan dengan manusia. Manusia
tinggal dengan berdesakan atau leluasa dalam bekerja, rekreasi, berlalu lalang,
berjalan kaki maupun berkendaraan. Dalam pengembangan kota pada umumnya yang menjadi acuan adalah
konsep kota
taman (garden city) yang pada dekade pertama abad ini sudah diterapkan
di Eropa, misalnya kota
Welwyn di Inggris. Perubahan dan kesinambungan yang terjadi berlangsung dalam
tiga kategori, yaitu secara :
1. Perorangan (individu)
2. Kelompok (sociental)
3. Kelembagaan
(institusional)
Ketiga kategori tersebut
wajib dicermati secara holistik integratif (sebagai satu kesatuan yang
tidak terpisahkan). Konsep kota
taman yang dikembangkan oleh Ebenezer Howard, di luar daerah yang dibangun atau
pusat-pusat industri agar orang dapat kembali menyatu dengan alam. Konsep fisik
ini harus diimbangi dengan perencanaan ekonomi dan sosial dalam hubungannya
dengan lingkungan. Kemudian muncul konsep kota
putih yang dikembangkan oleh Daniel H. Buruham (1983) sebagai kontras terhadap kota industri yang hitam.
(Sundari, 2007)
Tabel 8. Indeks
ketidaknyamanan pada hutan kota GB, JB, dan SB di kota Malang.
Hutan Kota
|
Indeks Ketidaknyamanan
|
||
Pinggir
|
Tengah
|
Jauh
|
|
Malabar
(GB)
|
72.6
|
72.1
|
72.8
|
Jl.
Jakarta (JB)
|
73.3
|
72.0
|
74.7
|
Velodrome (SB)
|
72.5
|
71.7
|
73.3
|
Hal ini menunjukan bahwa bentuk hutan kota yang efektif sebaiknya
mengikuti bentuk hutan kota menyebar strata banyak (SB) karena dengan
keberadaan vegetasi yang menyebar akan mempengaruhi iklim mikro yang akhirnya
berdampak nanti pada tingkat kenyamanan lingkungan sekitar
Peran-serta Pemerintah Daerah
Terhadap Pengelolaan Hutan Kota
Persepsi
masyarakat terhadap keberadaan hutan kota sangat beragam. Wawancara dilakukan
dengan berbagai instansi yang relevan terhadap akses pemanfaatan dan
pengelolaan hutan kota, baik instansi swasta maupun pemerintah. Dari hasil wawancara dapat diketahui bahwa :
1.
Belum terdapat persamaan
persepsi dari pejabat pada masing-masing instansi yang dihubungi di Pemkot
Malang.
2.
Belum jelas bentuk hutan
kota yang ada di Malang.
3.
Kegiatan Malang Ijo
Royo-royo adalah dalam rangka membangun RTH termasuk hutan kota. Partisipasi
masyarakat dalam kegiatan ini masih banyak bersifat seremonial dan belum sampai
ke taraf pemeliharaan yang lebih intensif.
4. pada umumnya setiap
instansi yang terkait masih memperebutkan lahan untuk mengejar target
masing-masing. Hingga penelitian berlangsung, masing-masing instansi yang
terkait dengan hutan kota
masih mempunyai tugas sendiri-sendiri, dan belum terpadu.
5. Pengadaan jenis-jenis
tanaman di hutan kota
seyogyanya dipilih yang dapat mengundang keberadaan satwa.
6. Pengadaan lahan untuk hutan
kota semakin
sulit karena persaingan dengan kepentingan pembangunan lainnya seperti jalan,
pemukiman, industri, dan perdagangan.
7. Keterlibatan perguruan
tinggi dalam mensukseskan kegiatan-kegiatan penghijauan sangat diperlukan.
Hingga saat ini dukungan perguruan tinggi dirasakan masih sangat kurang.
8. Dari pengamatan di lapangan
ternyata bentuk penghijauan hutan kota
ada yang berbentuk :
a.
Bentuk jalur, lebarnya tidak dibatasi. Bentukan jalur mengikuti bentuk
tertentu misalnya jalan, sungai dan memiliki 1 (satu) atau lebih jalur. Bentuk
hutan kota ini
tidak dapat dimanfaatkan untuk sarana bermain karena tidak memiliki space yang cukup serta tidak dilengkapi
sarana bermain/wisata.
b.
Bergerombol, suatu areal yang ditumbuhi lebih dari 100 pohon besar dan
kecil.
c.
Menyebar, suatu areal yang ditumbuhi lebih dari 100 pohon besar dan
kecil tetapi terpisah-pisah membentuk kelompok dalam suatu areal tertentu.
Hasil
wawancara dengan berbagai instansi ternyata pembangunan hutan kota belum mempertimbangkan bentuk hutan kota . Bentuk hutan kota yang ada selama ini ternyata secara
kebetulan karena pengaturan vegetasi yang ada dalam hutan kota dengan tujuan estetika, dan belum
mempertimbangkan fungsi ekologi ataupun fungsional.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1.
Bentuk hutan kota
menyebar strata banyak (SB) lebih baik dalam mengameliorasi iklim mikro (suhu, intensitas
cahaya matahari serta kelembapan) dibanding hutan kota bentuk bergerombol strata banyak (GB)
dan hutan kota
bentuk menjalur strata banyak (JB). Hutan kota SB (velodrome) dapat menurunkan
suhu hingga 5,26% dibanding hutan kota bentuk JB (jalan Jakarta) yang dapat
menurunkan suhu sebesar 5.24%, dan hutan kota GB (Malabar) sebesar 3.64%. hutan
kota .
Kelembapan di hutan kota SB dapat ditingkatkan hingga 5.66%, hutan kota bentuk
JB sebesar 9.93% dan hutan kota GB sebesar 13.58%. Perubahan kelembapan yang
tidak terlalu besar ini menunjukan adanya kestabilan bentuk hutan kota SB dalam menjaga
iklim mikro setempat. Uji BNT pada skala kepercayaa 5% menunjukan bentuk hutan kota SB lebih baik dalam
menapis intensitas cahaya (92.630a) dibanding GB (184.370b)
dan hutan kota
JB (186.574b).
2.
Hasil uji t menunjukan adanya perbedaan suhu yang nyata antara posisi
dalam hutan kota dan luar jauh hutan kota. Hal ini mengindikasikan begitu besar
efek keberadaan vegetasi dalam menurunkan suhu. Bentuk hutan kota SB (velodrome)
lebih baik dalam mengameliorase iklim dibandingkan hutan kota bentuk GB
(malabar) dan JB (jakarta). Hal ini dimungkinkan karena bentuk hutan kota SB
memiliki vegetasi yang menyebar sehingga memmungkinkan efek penurunan suhu yang
menyebar pada lingkungan sekitar. Hutan kota GB yang bergerombol, pengaruhnya
terhadap lingkungan lebih cenderung pada sisi-sisi yang dekat dengan hutan
kota.
3.
Kelembapan relatif secara statitik di setiap hutan kota menunjukan
perbedaan yang nyata dan sangat nyata berdasarkan uji t pada setiap posisi
pengukuran (T1, T2, T3). Bentuk hutan kota GB (malabar) mampu memberikan
perbedaan yang sangat nyata antara posisi tengah hutan (T2) dibanding posisi
jauh dari hutan (T3) dengan nilai p=0.000**. Hutan kota JB (jakarta) juga memberikan
efek yang sangat nyata berbeda tingkat kelembapan antara hutan kota (T2) dengan
daerah yang tidak bervegetasi (T3) dengan nilai p=0.009**. Hutan kota velodrome
(SB) memberikan perbedaan yang nyata antara posisi T2 dengan T3 (p=0.02) hal
ini menunjukan bahwa hutan kota dengan adanya beragam vegetasi yang tumbuh dan
berkembang di suatu areal akan memberikan peningkatan kelembapan yang lebih
baik dibandingkan daerah tanpa adanya vegetasi karena tidak lepas dari adanya
proses evapotranspirasi dan respirasi yang terjadi pada permukaan yang
bervegetasi. Kelembapan yang semakin meningkat memberikan efek bagi penurunan
suhu menjadi lebih sejuk.
4.
Hasil uji t menunjukan adanya perbedaan yang sangat nyata antara
intensitas matahari di posisi tengah hutan kota (T2) dengan posisi T1 dan T2.
Intensitas matahari di hutan kota JB menunjukan perbedaan yang sangat nyata
antara posisi T2 dengan T3 (p=0.007**) dan berbeda nyata pada posisi T1
(p=0.04*). Hutan kota GB juga menunjukan perbedaan yang sangat nyata antara
posisi T2 dengan T1 (p=0.003**) dan T3 (p=0.00**). Uji t pada hutan kota SB
menunjukan perbedaan yang sangat nyata di posisi T2 dengan T1 (p=0.002**), dan
posisi T2 dengan posisi T3 (p=0.004**). Terkosentrasinya vegetasi dalam hutan
kota memberikan efek naungan terhadap intensitas matahari secara langsung
menjadi lebih baik. Hasil pengamatan di hutan kota menunjukan bahwa hutan kota
dengan bentuk bergerombol dan menyebar menunjukan pengaruh terbaik dalam
mereduksi cahaya matahari. Penapisan yang baik menyebabkan tidak terjadi
peningkatan suhu akibat penyinaran langsung dari matahari pada daerah hutan
kota. Hal ini tak lepas dari adanya keberadaan vegetasi yang menaungi areal
sekitarnya.
5.
Perubahan suhu di sekitar hutan kota berkorelasi linier negatif dengan
tingkat kelembapan relatif (RH), dimana jika terjadi penurunan suhu, maka
kelembapan yang terjadi disekitar hutan kota akan menaik, dan begitu pula
sebaliknya. Hutan kota mampu
mempengaruhi tingkat kelembapan rata-rata 9.7% dibanding daerah tidak
bervegetasi, dan mampu menurunkan kelembapan hingga 4.7% di daerah pinggir
hutan kota. Intensitas matahari tidak berkorelasi positif dengan suhu dan
kelembapan. Hal ini menunjukan bahwa faktor cahaya matahari sangat kecil
pengaruhnya pada kondisi iklim hutan kota dan keberadaan vegetasi memungkinkan
terciptanya iklim mikro disekitar hutan kota.
6.
Perhitungan kenyamanan di hutan kota diperoleh bahwa bentuk maupun
posisi hutan kota di Kota Malang saat ini masih berada dalam kisaran cukup
nyaman dengan nilai IK berkisar antara
71,7 – 74.7. indeks kenyamanan berada pada kisaran nilai 61 – 71. Jika merunut
pada ketetapan di atas maka hutan kota di malang belum dapat mewujudkan rasa
nyaman bagi masyarakat yang melakukan aktifitas di daerah sekitar lingkungan
hutan kota. Akan tetapi sebagian besar masyarakat yang beraktifitas di daerah
tersebut menyatakan bahwa mereka sudah merasa nyaman dengan iklim mikro di
sekitar lingkungan hutan kota.
Saran-saran
Tingkat kenyamanan di
wilayah kota malang relative masih nyaman, namun disarankan bagi stakeholder
agar mencegah penurunan jumlah ketersediaan RTH, mendistribusikan luasan RTH
perwilayah sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang berkelanjutan, dan mengkaji
peruntukan RTH saat ini yang tidak tepat sasaran atau terkesan tidak terawat dengan
baik. Hal ini ditujukan untuk mengantisipasi dampak kerentanan daya dukung
lingkungan yang saat ini mulai dirasakan di wilayah kota malang
seperti erosi, banjir, longsor, pencemaran dan peningkatan suhu udara di kota . Perencanaan hutan kota dengan bentuk
menyebar dan berstrata banyak sebaiknya mulai digalakan di hutan kota yang tersedia saat
ini sehingga pemanfaatannya dapat dirasakan dengan lebih baik lagi. Koordinasi
antar instansi pemerintah yang berkepentingan dalam mengelola hutan kota maupun RTH secara
umum perlu dipertegas lagi agar tidak adanya saling lepas tanggung jawab dalam
menjaga keberlanjutan RTH khususnya hutan kota
di kota Malang .
Keanekaragaman bentuk hutan
berdasarkan peruntukannya dan fungsi yang berbeda dapat menjadi bahan acuan dalam
memperkaya khasanah ilmu pengetahuan kita. Bentuk hutan kota yang bergerombol juga sangat di harapkan
dapat di terapkan pada areal kampus yang masih kosong sehingga manfaatnya dapat
dirasakan bagi masyarakat sekitarnya serta sebagai penyumbang salah satu
tridharma perguruan tinggi yaitu pengabdian pada masyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
Amsyari F.
1996. Membangun Lingkungan Sehat (Menyambut 50 Tahun Indionesia Merdeka). Airlangga University Press. Surabaya
Bingru
Huang. 2006. Plant – Environment Interactions (Ed. 3). Published by CRC Press
Budihardjo
E, S. Hardjohubojo. 1993. Kota
Berwawasan Lingkungan. Penerbit Alumni. Bandung .
pp. 211.
Departemen Kehutanan dan Perkebunan RI, 1999. Nuansa dan Harapan
Reformasi Kehutanan dan Perkebunan : Perjalanan 250 Hari Menuju Pengelolaan
Sumberdaya Alam yang Berkelanjutan dan Berkeadilan. Jakarta .
Gusmailina.
1995. Pengukuran Kadar CO2 Udara di Dalam Tegakan Beberapa Jenis
Hutan Tanaman di Cikole dan Ciwidey, Jawa Barat. Thesis Program Pasca Sarjana
Institut Pertanian Bogor (tidak diterbitkan).
Lorean
Michael, S. Naem and Pablo Inchausti. 2004. Biodiversity
and Ecosystem Functioning (Synthesis and perspectives) Oxford University
Press.
Mohamad
Soerjani, A. Yuwono, D. Fardiaz. 2006. Lingkungan Hidup (The Living Environment) Pendidikan, Pengelolaan Lingkungan dan
Pembangunan Berkelanjutan. Penerbit Yayasan Institut Pendidikan dan
Pengembangan Lingkungan (IPPL) Jakarta .
Sastrawijaya,
A.T. 2000. Pencemaran Lingkungan. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta . pp.274
Siti
Nurisjah. 2005. Penilaian Masyarakat Terhadap Ruang Terbuka Hijau. Tesis Program
Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor .
Bogor (tidak
diterbitkan)
Soemarno,
2004. Model Pengelolaan Sumberdaya Hutan Untuk Pengembangan
Wilayah dan Pemberdayaan Masyarakat. Malang .
Soemarwoto,
O. 2001. Atur Diri Sendiri : Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup. Penerbit Gadjah Mada
University Press. Jogjakarta
Soemarwoto,
O. 2004. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Penerbit Djambatan. Jakarta . pp. 381
Soeparmoko
M., dan M.R. Soeparmoko., 2000. Ekonomika Lingkungan (Ed. Pertama). Penerbit
BPFE. Yogyakarta .
Soerianegara.
I. 1986. Ekologi, Ekologisme, dan Pengelolaan Sumberdaya Hutan. Penerbit.
Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB Bekerjasama dengan Himpunan
Alumni Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor
Soerjani M, A. Yuwono, D. Fardiaz, 2006. Lingkungan Hidup (The Living Environment) Pendidikan,
Pengelolaan Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan (Education, Environmental Management and Sustainable Development).
Penerbit Yayasan Institut Pendidikan dan Pengembangan Lingkungan. Jakarta . pp.227
Sumarni.
2006. Partisipasi Masyarakat dalam
Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau Pemukiman di Kota Malang . Disertasi Program Pascasarjana
Universitas Brawijaya Malang (tidak diterbitkan)
Sundari, E.
S. 2007. Studi Untuk Menentukan Fungsi Huta Kota dalam Masalah Lingkungan
Perkotaan., Jurnal PWK Unisba Vol. 7 Nomor 2.
Watt, K.E.F.
1973. Principles of Environmental Science. New York San Francisco , Toronto , Mc.Graw Hill
www.tempointeraktif.coma. Hutan Kota Malang tinggal 71,6
ha . Diakses tanggal 18 Juli 2007 pukul : 13.55 WIB.
www.tempointeraktif.comb. Ruang Terbuka Hijau Kota Malang tinggal 4 persen. Diakses tanggal 18
Juli 2007 pukul : 14.00 WIB.
No comments:
Post a Comment